Mohon tunggu...
Bukan Hantu
Bukan Hantu Mohon Tunggu... -

Manusia Biasa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berani Miskin?

13 Maret 2012   12:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak guru! Apakah kita telah terlahir dengan kutukan?

Kutuk, sudah lama bapak tak mendengarnya.

Ya, kutuk! Apakah kita terkutuk untuk mempercayai yang bukan keyakinan kita?

Hahaha, Kau ingin bebas nak?

Ya.

Baiklah, kau telah bebas sekarang!

Semudah itukah?

Ya.

Sekarang apa yang kau inginkan setelah mendapat kebebasan?

Tidak langsung menelan perkataan bapak!

Hahaha

Kenapa tertawa pak? Tidak tersinggung?

Tidak, karena bapak sudah membebaskanmu!

Seorang pria duduk di sebuah bangunan reyot, pada sebuah ruangan kecil, wajahnya menghadap bangku-bangku yang telah lama kosong, atapnya berwarna biru gelap, lantainya merah kehitaman, dindingnya adalah kayu yang hampir habis dimakan rayap. Dua puluh tahun silam, ruangan ini masih berdiri kokoh, riuh-rendah terdengar suara-suara kepolosan, terakhir kalinya berjumpa dengan kelurusan hati. Yang tersisa hanyalah reruntuhan. Si pria itu mencoba-coba mengingat kembali ke masa dua puluh tahun lalu.

Pak Guru! Apakah seorang penjahat terlahir jahat?

Jahat, sudah lama juga bapak tak mendengarnya.

Ya. Kenapa mereka berbuat jahat?

Hahaha, bukankah engkau yang mengatakannya jahat?

Bukan, bukan aku pak!

Lalu siapa yang bilang mereka, yang lain, adalah penjahat?

Ayah.

Hahaha, berarti ayahmu yang melabeli mereka penjahat

Kenapa ayah melabeli mereka sebagai penjahat pak?

Karena ayahmu berpikir demikian.

Kenapa dia berpikir seperti itu?

Semua orang bebas melabeli siapa saja, aku, kamu, termasuk ayahmu.

Lalu, seperti apakah seseorang yang bapak anggap sebagai penjahat?

Bagi bapak, orang yang takut miskin adalah penjahat.

Siapa orang yang takut miskin pak?

Kamu berani miskin?

Pria itu masih terdiam, masih memendam kerinduan masa lalunya, suatu kenangan yang tak dapat dilupakan. Kini, dari percakapan-pecakapan bersama sang guru, kebijaksanaan dari sang guru menjadikan pengalaman itu lebih berarti dari bangunan-bangunan yang telah retak tertelan oleh waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun