Mohon tunggu...
Teguh Perdana
Teguh Perdana Mohon Tunggu... Editor - Menulis dan Berbagi Cerita

Berbagi Kata Berbagi Cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cerita Sebuah Perjalanan Panjang, dari Yogyakarta sampai Banjar

11 April 2020   07:37 Diperbarui: 11 April 2020   07:43 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PULANG. Awan mendung yang biasanya menghinggapi langit Jogja seolah terganti dengan awan cerah dan bersahabat untuk sebuah perjalanan. Setelah berjibaku selama satu semester penuh, kemarin (13/1) waktu liburan akhirnya tiba. Keluar dari daerah Blimbingsari, aroma deburan asap dan suara bising klakson kendaraan telah menyapa seperti biasa. 

Pukul 10.00 WIB memang telah kurencanakan sebelumnya untuk memulai sebuah perjalanan panjang berjarak lebih dari 200 km dengan waktu tempuh sekitar 8 jam menuju sebuah kota di ujung timur Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah.

Tugu Jogja yang monumental menyapa pertama kali sebelum kutinggalkan daerah istimewa ini selama satu minggu. Memang keindahanya selalu menawan ragaku untuk berpindah, tapi apa boleh buat rasa rindu untuk bersua orang rumah energinya lebih besar. Kulewati tugu dengan hati lapang, memandang kedepan untuk fokus pada perjalanan.

Perjalanan selama satu jam telah kutempuh, kini Wates, daerah yang bagiku indah dengan bising kendaraan yang sedikit lebih baik dari Jogja menewarkan pemandangan berbeda dari daerah sebelumnya. Hamparan sawah masih dapat kulihat, walau tidak dapat dibilang sangat luas, tapi aku bersyukur ibu bumi masih menjaganya. Deretan pohon palm pun seperti menyambutku, kibasan daun yang tertiup angin seolah-olah mengajaku untuk berhenti sejenak. Aku berhenti sejenak dan sengaja beteduh dibawahnya, melihat petani dari kejauhan hingga melihat tronton saling salip.

Berselang beberapa kilometer, bandara baru NYIA dengan gagah telah berdiri walaupun belum sempurna. Masih kuingat sekitar dua tahun lalu masih ada rumah berdiri di daerah tersebut, rumah sederhana dengan tulisan di depanya "terus nandur" tanda tidak mau digusur. Juga sapi yang lalu-lalang mencari rumput, kini hilang diganti bising kendaraan berat alat konstruksi.

Entahlah, kadang ingatan bisa membuat kita menjadi manusia lemah. Lemah karena rasa kemanusiaan. Kupacu kembali motorku dengan kencang agar ingatan itu sirna hingga tidak terasa telah masuk Jalan Deandels.

Jalan Deandels

Walaupun hanya berbekal motor butut keluaran tahun 2008, tapi aku rasa tidak ada salahnya untuk tetap memacu kecepatan diatas 60 km/jam.

Aspal mulus, dengan angin yang bertiup agak kencang adalah salah satu ciri khas yang dimiliki oleh Jl. Deandels. Jika kalian  berpandangan bahwa ini jalan yang dibangun oleh H.W Deandels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dulu, kalian keliru. Walaupun sama-sama Deandels, kedua orang tersebut sangat berbeda. 

Jika H.W Deandels adalah Gubermen, beda dengan Deandels yang disematkan pada jalan penghubung Bantul, Purworejo, Kebumen, hingga Cilacap. Dia adalah A.W Deandels, asisten residen wilayah Ambal (salah satu nama kecamatan di Kebumen) masa kolonial.

Sekitar 3 jam perjalanan menyusuri jalan deandels, memang tidak banyak pemandangan yang disuguhkan. Pinggiran jalan yang biasanya ramai oleh pom mini, warteg ataupun warung sembako, hanya dapat ditemui di kilometer tertentu jalan ini.

Panas yang semakin terik, memaksaku untuk terus menambah kecepatan. Walaupun sebenarnya telah ada imbauan bahawa kecepatan hanya diperkenankan sampai 60 km/jam. 

Kulewati daerah yang beberapa waktu lalu banyak poster perlawanan warga, entah aku lupa apa tulisan mereka, namun intinya mereka ingin mempertahankan tanah pertanianya. Lebih lanjut, beberapa kilometer sebelum masuk daerah Petanahan, kulihat juga bekas pertambangan pasir. Pohon kelapa yang mungkin dulunya berdiri berjejer gagah, kini hanya beberapa saja, dan itupun tinggal menunggu dia mati saja.

Terkadang aku berfikir, daerah yang memiliki jalan begitu mulus ini sangat disayangkan jika hanya menjadi jalan tikus mobil-mobil penggila kecepatan. Tapi sudahlah, kusimpan bayangan deandels yang hingar binger kemewahan didalam ingatan terdalamku saja. Kulewati jalan deandel dengan bayangan pohon kelapa setengah mati dan berbelok masuk ke Kebumen.

Banjar kota idaman

Tidak terasa, waktu 7 jam perjalanan telah kutempuh, perjalanan kali ini memang sangat bersahabat. Mungkin karena libur Natal dan Tahun Baru telah usai jadi arus lalu lintas terasa lebih senggang.

Dari kejauhan, kota tujuanku telah terlihat. Kota yang membesarkaku jauh dari hiruk pikuk kebisingan klakson saat lampu hijau menyala atau betapa menyeramkanya klitih. Kupelankan motorku, kaca helm yang dari tadi kututup kini segaja kubuka, begitu pun dengan maskerku. Kihurup kuat-kuat udara sore kotaku yang menurutku jauh lebih bersih dari daerah yang tadi sempat kulewati.

Hamparan sawah hijau masih terpampang nyata di mataku, begitu pun anak-anak kecil yang sibuk dengan permainan tradisonalnya. Seolah sengaja, aku tidak belok ke jalan yang lebih cepat menuntunku sampai di rumah, tapi kuarahkan ke tempat favorit dimana aku dulu sering berolahraga di pagi buta dengan temanku.

Kini, daerah favoritku telah berubah ternyata. Pohon angsana yang dulu masik bisa dihitung menggunakan jengkalan tangan, kini telah besar. Bahkan dahanya telah bertemu dahan pohon lain di seberangnya seolah sedang saling memeluk untuk menguatkan. Pinggir jalan pun yang dulunya hanya tanah becek, kini telah berganti beton dengan cat kuning sebagai penghiasnya.

Memang, besarnya pertumbuhan penduduk membuat beberapa area sawah disekitar daerah tersebut telah berganti fungsi menjadi lahan tempat tinggal. Tidak ketinggalan, jalan beton yang aku kira dikhususkan bagi pejalan kaki atau masyarakat yang sedang berolahraga, berubah fungsi menjadi tempat usaha dengan terpal dan batang bambu sebagai penyambung konstruksinya agar tidak tertiup angin ketika sedang kencang. Walaupun hanya beberapa tenda, namun hal tersebut cukup sedikit disayangkan perihal perubahan fungsi lahan tersebut. Tapi apa boleh buat, mungkin untuk menyewa ruko kadung terlalu mahal untuk mereka.

Perjalanaku hampir selesai. Rumah hijau dengan macam-macam pohon didepanya telah bersiap menyambut kedatanganku. Benar apa yang dikatakan temanku dulu bahwa "Sejauh apapun kamu pergi, akhir-akhirnya akan pulang juga".

Banjar, 14 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun