Panas yang semakin terik, memaksaku untuk terus menambah kecepatan. Walaupun sebenarnya telah ada imbauan bahawa kecepatan hanya diperkenankan sampai 60 km/jam.Â
Kulewati daerah yang beberapa waktu lalu banyak poster perlawanan warga, entah aku lupa apa tulisan mereka, namun intinya mereka ingin mempertahankan tanah pertanianya. Lebih lanjut, beberapa kilometer sebelum masuk daerah Petanahan, kulihat juga bekas pertambangan pasir. Pohon kelapa yang mungkin dulunya berdiri berjejer gagah, kini hanya beberapa saja, dan itupun tinggal menunggu dia mati saja.
Terkadang aku berfikir, daerah yang memiliki jalan begitu mulus ini sangat disayangkan jika hanya menjadi jalan tikus mobil-mobil penggila kecepatan. Tapi sudahlah, kusimpan bayangan deandels yang hingar binger kemewahan didalam ingatan terdalamku saja. Kulewati jalan deandel dengan bayangan pohon kelapa setengah mati dan berbelok masuk ke Kebumen.
Banjar kota idaman
Tidak terasa, waktu 7 jam perjalanan telah kutempuh, perjalanan kali ini memang sangat bersahabat. Mungkin karena libur Natal dan Tahun Baru telah usai jadi arus lalu lintas terasa lebih senggang.
Dari kejauhan, kota tujuanku telah terlihat. Kota yang membesarkaku jauh dari hiruk pikuk kebisingan klakson saat lampu hijau menyala atau betapa menyeramkanya klitih. Kupelankan motorku, kaca helm yang dari tadi kututup kini segaja kubuka, begitu pun dengan maskerku. Kihurup kuat-kuat udara sore kotaku yang menurutku jauh lebih bersih dari daerah yang tadi sempat kulewati.
Hamparan sawah hijau masih terpampang nyata di mataku, begitu pun anak-anak kecil yang sibuk dengan permainan tradisonalnya. Seolah sengaja, aku tidak belok ke jalan yang lebih cepat menuntunku sampai di rumah, tapi kuarahkan ke tempat favorit dimana aku dulu sering berolahraga di pagi buta dengan temanku.
Kini, daerah favoritku telah berubah ternyata. Pohon angsana yang dulu masik bisa dihitung menggunakan jengkalan tangan, kini telah besar. Bahkan dahanya telah bertemu dahan pohon lain di seberangnya seolah sedang saling memeluk untuk menguatkan. Pinggir jalan pun yang dulunya hanya tanah becek, kini telah berganti beton dengan cat kuning sebagai penghiasnya.
Memang, besarnya pertumbuhan penduduk membuat beberapa area sawah disekitar daerah tersebut telah berganti fungsi menjadi lahan tempat tinggal. Tidak ketinggalan, jalan beton yang aku kira dikhususkan bagi pejalan kaki atau masyarakat yang sedang berolahraga, berubah fungsi menjadi tempat usaha dengan terpal dan batang bambu sebagai penyambung konstruksinya agar tidak tertiup angin ketika sedang kencang. Walaupun hanya beberapa tenda, namun hal tersebut cukup sedikit disayangkan perihal perubahan fungsi lahan tersebut. Tapi apa boleh buat, mungkin untuk menyewa ruko kadung terlalu mahal untuk mereka.
Perjalanaku hampir selesai. Rumah hijau dengan macam-macam pohon didepanya telah bersiap menyambut kedatanganku. Benar apa yang dikatakan temanku dulu bahwa "Sejauh apapun kamu pergi, akhir-akhirnya akan pulang juga".
Banjar, 14 Januari 2019