Penilaian-penilaian yang disematkan kepada kaum wanita timbul karena perspektif para kaum maskulin.
Pada tanggal 13 bulan Agustus 2021 lalu sineas lokal Indonesia mengeluarkan sebuah karya film yang berjudul Selesai. Film yang digarap oleh dr. Tompi ini memantik banyak respon dari masyarakat sebelum dan sesudah film ini dikeluarkan. Selesai adalah film yang sarat dengan banyak perspektif terhadap gender.
Dalam tulisan ini saya ingin memberi fokus terhadap bagaimana stereotipe perempuan diperkuat dan direfleksikan dalam film ini. Perempuan dan laki-laki merupakan subjek yang mengambil penuh kehidupan dan sejarah perjalanan manusia.
Kita kerap kali menemukan sebuah penggambaran tokoh yang ingin memberikan nilai terhadap salah satu kelompok gender. Dalam buku An Introduction to Criticism: Literature, Film, Culture (Ryan, 2012) dijelaskan bahwa perempuan sering digambarkan dalam stereotipe yang sangat negatif atau bahkan sangat positif.Â
Keberadaan seorang wanita dapat menjadi ancaman bagi pria atau bahkan sebaliknya, mereka dapat digambarkan sebagai seorang bidadari yang memiliki misi merawat manusia.
Budaya di suatu wilayah membentuk pola bagaimana manusia memandang keberadaan seorang wanita. Ada yang menggambarkan sosok wanita sebagai individu yang lemah dan tak berdaya. Seperti yang diceritakan dalam film Selesai.
Ayu yang diperankan oleh Ariel Tatum, di ending film diperlihatkan menjadi seorang wanita yang stres dan tak berdaya. Akan tetapi ada peran wanita yang memiliki penggambaran yang berbeda yang diperankan oleh Ariel Tatum maupun pemeran lainnya.
Penggambaran Perempuan dalam Film SELESAI
dr. Tompi memberi nuansa yang berbeda dalam alur cerita dari film Selesai. Ketika menonton film ini kita mungkin berharap cerita film ini berakhir bahagia. Akan tetapi siapa yang menyangka bahwa film ini memiliki puncak cerita yang berbeda. Sad ending menjadi cerita akhir dari film ini.
Memanag dalam sebuah film, seorang sineas memiliki perspektif yang bebas. Sad ending yang menjadi puncak dari film ini memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana kehidupan seorang wanita dengan segala pergolakannya.
Konflik yang terjadi antara Broto (suami) yang diperankan Gading Marten dengan Ayu (istri) yang diperankan oleh Ariel Tatum adalah konflik yang diakibatkan perselingkuhan. Ketika sang suami ketahuan memilki hubungan dengan wanita lain, sang suami bukannya mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Broto malah mencari alasan dengan menyalahkan istrinya.
Wanita digambarkan selalu salah dan lemah di mata laki-laki. Menariknya ada pembeda perspektif terhadap seorang wanita. Hal ini dapat dilihat dalam peran Mbak Yani yang diperankan oleh Tika Panggabean sebagai seorang pekerja rumah tangga (PRT).
Karakter Mbak Yani digambarkan sebagai seorang yang humoris dan ceplas-ceplos. Peran ini menjadi pembeda dan membuat warna dari film ini menjadi lebih berbeda. Sebagai seorang PRT, Mbak Yani menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan memperlihatkan sosok perempuan yang pekerja keras.
Ia harus bekerja demi menghidupi keluarga dan menjadi tulang punggung keluarganya. Gaji yang ia sisipkan dan ia kirim ke kampunglah yang menjadi sumber penghidupan keluarganya.
Dalam tradisi patriarki, perempuan dialokasikan sebagai pengasuh, dan pembantu rumah tangga (Ryan, 2012). Mbak Yani memberikan sebuah refleksi bahwa pekerjaan menjadi seorang pekerja rumah tangga dapat menghasilkan hasil (gaji). Saat ini perempuan dengan segala kemampuannya dapat menjalankan tugas yang dahulu disematkan pada kaum pria yaitu bekerja mencari uang.
Standar perempuan saat ini menjadi ganda di satu sisi ia harus menjadi seorang istri yang melayani suami dan anaknya di rumah. Di sisi lain perempuan harus bekerja guna mencari nafkah bagi keluarga. Beberapa stereotipe yang dilekatkan pada perempuan di masyarakat dapat kita lihat dari ulasan di atas.
Kita kerap kali mendengar stereotipe perempuan sebagai makhluk yang mudah menangis, pemarah, pemuas nafsu laki-laki, biang masalah dalam retaknya suatu rumah tangga, dan lain-lain.Â
Walaupun dalam film ini wanita dapat dilihat sebagai subjek yang lemah, akan tetapi subjek yang lain (pria) juga sebenarnya dapat dikaji dengan teori-teori maskulinitas.
Penilaian-penilaian yang diberikan kepada kaum wanita timbul karena perspektif para kaum maskulin. Oleh karena itu kembali lagi bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki merupakan subjek yang mengambil penuh kehidupan dan sejarah perjalanan manusia.
Daftar Pustaka
Ryan, M. (2012). An Introduction to Criticism: Literature-Film-Culture. John Wiley & Sons.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H