Mohon tunggu...
Buha Edyson
Buha Edyson Mohon Tunggu... Wiraswasta - Homo Digitus

Pernah, sedang dan terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Didi Kempot, Notifikasi Komunitas, dan Pandemi yang Memasuki Krisis Identitas

7 Mei 2020   01:29 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerabat menabur bunga di atas pusara almarhum penyanyi campursari Dionisius Prasetyo atau Didi Kempot seusai dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Desa Majasem, Ngawi, Jawa Timur, Selasa (5/5/2020). Didi Kempot meninggal di Solo, Jawa Tengah, pada usia 53 tahun. (ANTARA FOTO/JONI PRATAMA via KOMPAS.com)

Pandemik menciptakan kerangka pikir yang sama menolak interaksi sosial dan memaksa kita menjadi berubah secara sosial dari Social interaction menjadi Social Distancing.

Masa pandemi telah merubah wajah dunia. Dalam angka mutlak tekanan ekonomi akibat pandemi mempengaruhi begitu banyak umat manusia. Begitu berkuasa sehingga memaksa umat manusia berubah secara budaya. 

Salah satunya yang paling populer dan menjadi budaya di kalangan milenial adalah "filosofi ngopi". Sebuah gaya hidup yang mewabah sebelum wabah Covid-19 datang merusaknya. Filosofi sederhana tempat bertemunya mereka yang senang dengan interaksi sosial hilang bermutasi menjadi berkumpul tanpa kebebasan.

Media berbasis "daring" menjadi alternatif pilihan bagi mereka yang memang memiliki koneksi luas ke "dunia lain". Mereka masih ada harapan untuk berjalan-jalan di lanskap artifisial pada internet. Banyak dari mereka meninggalkan TV sebagai akses utama informasi. Itu buat mereka yang bisa. Bagaimana dengan yang lainnya?

Catatan statistik saat ini di Indonesia ada 24.7 Juta yang hidup dalam kemiskinan. Saya tidak yakin kalau mereka semua punya akses ke "dunia lain" sama seperti yang dimiliki oleh mereka-mereka yang mempunyai akses luas kesana. 

Baiklah kita berasumsi mereka mempunyai akses ke TV. Kenyataannya penonton TV hanya dijejali dengan informasi satu arah dengan kecenderungan hiperrelitas dari ahli ekonomi, sosial, politikus dengan hasil yang sudah dipersepsi dan cenderung menciptakan ketakutan. 

Namun berbeda ketika Didi Kempot yang seorang idola sebuah komunitas muncul dalam penggalangan dana di sebuah TV, persepsi personal dari seorang Didi Kempot dengan realisme sosialnya justru menggerakan komunitas untuk bersama-sama berbagi hati dalam donasi membantu komunitas Sobat Ambyar yang terkena dampak pandemi. 

Virtualitas di satu sisi dan hiperrealitas yang diterima oleh yang lain menyebabkan perbedaan persepsi menghadapi Pandemi Covid-19 saat ini. Di kaum virtualitas, mereka bertahan dan meyakini tinggal dirumah adalah sebuah kebenaran absolut yang didapatkan hanya melalui informasi dari "dunia lain".

Sedangkan di kaum hiperrealitas, karena ketakutan yang diciptakan oleh para komentator TV, mendesak mereka keluar dari pembatasan untuk mencari cara bagaimana bertahan hidup.

Bagaimana saat ini orang mencari cara bertahan hidup terlihat dari oleh survei SMRC.

Survei SMRC yang dilakukan di bulan april 2020 menemukan mayoritas rakyat Indonesia 77% menyatakan Covid-19 telah mengancam pemasukan atau penghasilan. Disebutkan pula sekitar 25% warga (atau 50 Juta warga dewasa) menyatakan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman.

Kondisi pandemi di tahap awal memiliki konsensus yang sama terhadap cara pencegahan, dampak dan protokol penangan yang ditetapkan. Awal yang sama yang disepakati setiap orang dimana interaksi sosial dibatasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun