Keberadaan Sobat Ambyar secara tegas menjadi nama resmi komunitas penggemar musik pencinta lagu Didi Kempot. Komunitas yang menyukai sosoknya, senang dengan liriknya, menikmati setiap dentum gendangnya, dan mungkin sampai mengalami "ejakulasi semu" saat menontonnya.Â
Yang menarik dari Sobat Ambyar adalah keberadaan komunitas ini bukan lagi dari kelas sosial bawah namun sudah melintasi semua kelas sosial bahkan sampai ke tingkatan Presiden kita Bapak Joko Widodo. Sebuah transendensi luar biar biasa dari seorang Didi Kempot. Â
Fenomena ini meninggalkan celah dengan kehilangan orisinalitas semangat komunitas. Hegemoni alam bawah sadar yang lebih banyak dikendalikan secara biologis demi kesenangan semu. Sosok idola terlihat lebih tertanam dominan dalam imajinasi populer dibanding dengan semangat komunitas.
Walaupun ada banyak celah tertinggal dalam komunitas Sobat Ambyar, ada hal baik yang bisa menjadi landasan me-redefinisi spiritualitas komunitas. Yaitu dari semangat awal fiksi "kenabian" idola ditransformasikan dalam narasi budaya yang disarikan dari pesan moral sang idola.Â
Hati kecil saya tetap berharap bahwa komunitas ini tetap terus berlanjut berjalan bersama melawan penyebaran virus Covid-19. Menjadi realitas nyata bergradasi menjadi komunitas social interpreneurship. Kalaupun tidak terjadi, minimal menjadi inspirasi banyak idola lain untuk ikut berjalan bersama. Mudah-mudahan.
Kenapa komunitas tetap dirasa penting di kondisi saat ini terutama dalam situasi Pandemi Covid-19? Masa pandemi sudah berjalan hampir tiga bulan.Â
Begitu banyak idola kita yang meninggal. Ada para medis yang gugur berjuang. Banyak orang yang kehilangan sanak-saudaranya. Atau kita yang dipaksa secara sosial untuk terputus dengan komunitas kita. Kehilangan relasi dengan orang-orang tempat dimana kita tinggal dan bekerja.Â
Komunitas Sobat Ambyar memiliki roh kuat. Bayangkan saja hanya membuat acara penggalangan dana dari rumah bisa mengumpulkan 7.6 milyar.Â
Siapa lagi yang bisa berbuat seperti ini di masa pandemi ini? Memberi harapan positif, menyebarkan virus bahagia, berbela kehidupan yang bisa menjadi notifikasi dan menjadi spiritualitas gerakan sosial?
Pandemi yang memasuki krisis identitasÂ
Pandemi Covid-19 telah memaksa pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala dengan membatasi interaksi sosial antar pribadi dan komunitas. Menurut Wijaya (2010), suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, kontak sosial dan adanya komunikasi secara fisik.Â