Buatlah rekapan history pengiriman tulisan. Misalnya, buku apa dikirim ke mana pada tanggal berapa. Hal ini sebetulnya juga mempermudah penulis untuk mengecek tulisannya pada suatu media. Sudahkah dimuat? Kalau belum, kapan terakhir kirim? Tidak setiap media memberi tahu tentang keberadaan naskah: dimuat atau tidaknya tulisan kita. Untuk itu, penulis sendiri yang harus proaktif dalam melacaknya. Ada baiknya, menjalin hubungan kepada teman di luar daerah. Meminta tolong untuk mengecekkan dan atau membelikan koran aslinya. Terutama bagi yang hendak mengkliping dari koran aslinya.
Oya, kita juga perlu mengenal penerbit. Beberapa penerbit menyediakan reward berupa fee dan atau buku baru untuk peresensi. Segera hubungi pihak penerbit untuk konfirmasi bahwa resensi yang ditulis telah tersiar di media massa. Jangan lupa menggunakan kata pengantar yang jelas dan sopan. Ingat, tidak boleh memaksa. Tentu saja, kebijakan masing-masing[Y31] penerbit berbeda. Sebenarnya, kalau toh tidak mendapatkan reward pun dengan tulisan kita dimuat sudah mendapatkan kebahagiaan tersendiri.
Gagal Nembus Media?
Ah, itu biasa. Jika resensi gagal menembus media, jangan buru-buru menyalahkan media yang dikirimi. Coba mencari apa penyebabnya. Alasan ditolak macam-macam. Jangan takut memperbaiki bahkan kalau perlu merombak resensi yang telah kita tulis. Misalnya saja, bisa dengan mengubah judul agar dilirik redaktur. Percayalah, bahkan judul yang kita pilih dapat memengaruhi masa tunggu pemuatan. Pada momen hari Kartini, contohnya, tentu saja judul resensi yang berkaitan dengan Kartini atau emansipasi wanita lebih berpeluang dimuat.
Bisa jadi, tulisan resensi tidak sesuai dengan visi koran yang kita bidik. Sebagai contoh, koran Jakarta, sifatnya umum menyukai tentang buku bergenre pengembangan diri, motivasi, dan bisnis. Boleh jadi pula, resensi kita kurang dalam, sehingga boleh ditambahkan dengan membandingkan dengan buku lain yang sejenis. Atau, suatu buku dikupas dengan suatau teori dari seorang ahli. Untuk membuat sebuah karya resensi yang diterima di media harus dicoba berulangkali dan satu karya hanya satu media.
Perlu diperhatikan juga, biasanya buku yang diresensi merupakan buku baru. Namun, bukan berarti harus selalu buku baru. Tergantung media. Koran Kedaulatan Rakyat, misalnya, hanya menerima buku-buku terbitan usia enam bulan. Sementara itu, media lain, ada yang masih menerima buku terbitan tahun tahun sebelumnya. Usahakan kita tahu buku tersebut belum pernah dimuat oleh orang lain pada koran yang sama.
Sebagai peresensi, kita perlu mengenali media. Media apa saja yang menerima resensi buku, apa nama rubriknya, tayang hari apa, serta bagaimana ketentuan megirimkan ke sana. Selain itu, bagaimana cara mengetahui kabar pemuatan tulisan kita.
Cermati selingkung koran yang akan kita tuju. Rata-rata 4000 cws (character with spasi), kecuali untuk beberapa koran menyaratkan jumlah tertentu. Itulah kenapa kita harus mengenal media yang dituju.
Bisakah resensi dikirim ke media online? Tentu saja. Ada media online yang menerima resensi buku. Selain itu, pada era milenial ini, media sosial sangat membantu dalam mengenalkan suatu buku baru.
Jangan abaikan sosok yang berjasa. Siapa dia? Ya, redaktur. Kalau dapat “surat cinta dari redaktur”, terimalah dengan lapang dada. Ikuti apa maunya. Jangan memaksa apalagi mengancam, ya.
Saya pernah mengalami pemuatan tertunda karena kesalahan saya sendiri. Misalnya, teledor salah mengirim halaman sejarah buku. Bahkan, pernah pula gagal dimuat karena foto sampul buku kurang bagus.
Berhati-hati dengan typo. Inilah gunanya menyunting. Ada media massa yang tidak mentolelir kesalahan typo satu pun. Yang jelas ikuti kemauan redakturnya jika kita diberi masukan. Biasanya, kalau sesuai dengan persyaratan akan dimuat. Oya, redaktur berhak mengedit tulisan kita.