Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PT. KAI di-habis Gelap Terbitlah Terang-kan oleh Jonan

21 Agustus 2023   19:35 Diperbarui: 21 Agustus 2023   21:33 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta api satu jalur dan penumpang di atas gerbong

Kondisi dulu: Di tahun-tahun itu saat saya masih kuliah, saya perlu melakukan praktik lapang di KRB (Kebun Raya Bogor), untuk mata kuliah STT (Sistematika Tumbuhan Tingkat Tinggi). Selama satu semester minimal seminggu sekali saya ke KRB, dan karena itulah saya naik kereta api ke Bogor, dan disitulah 'romantisme' naik CL masa itu saya rasakan.

Yang pertama memang lamanya waktu tempuh antara Jakarta ke Bogor ini, maklum saja, rel keretanya hanya satu, sehingga harus dipakai bergantian antara kereta yang mau lewat. Biasanya kereta yang belum dapat giliran akan menunggu di stasiun sebelumnya. Kebayang kan lamanya naik CL waktu itu. Ditambah lagi, di masa itu, nggak ada tuh yang Namanya 'tepat waktu', bablas semua jadwal yang tertulis di papan. Kita semua penumpang, hanya bisa 'pasrah bongko'an' saja. Kata orang Jakarte sih,"bongkok-bongkok deh lo sono...." Yang intinya sekedar menggambarkan, bahwa kita nih, para penumpang, nggak bisa apa-apa dengan kondisi per-CL-an itu, terima saja apa adanya, pasrah saja.

Belum lagi penumpangnya, wuih, berjubel bener, maklum saja kan karena tarif murah, ya mau nggak mau deh. Berjejal-jejal, sampai Sebagian memilih naik ke atas gerbong kereta api. Dan ternyata, peminat yang naik di atas gerbong itu banyak lho. Enak katanya, walau banyak penumpang barengan di atas gerbong, banyak juga angin yang didapatnya... jelas atuh ya. Terakhir-terakhir dipasang besi penghalang supaya penumpang tidak naik ke atas gerbong... tapi tetep saja sih.

Kondisi sekarang: keretanya sudah dua jalur. Keberangkatan diatur sekitar setiap 15 menit. Penumpang masih terlihat padatterutama di jam orang-orang (commuter) pergi dan pulang ke dan dari tempat kerjanya , tapi nggak sampai tumpah ruah ke atas gerbong. Karena pintu kereta harus dalam keadaan tertutup. Kalau pintu kereta nggak tertutup, keretanya nggak akan jalan. Lumayan walau berdesakan, ada AC di setiap gerbongnya. 

Pedagang Asongan dan Ticket Checkers

Kondisi dulu: Dulu pedagang asongan boleh masuk ke dalam kereta. Dia akan berjalan dari gerbong depan sampai gerbong belakang, demikian seterusnya bolak-balik. Walau kereta penuh juga tetap saja dia berusaha nelisep masuk diantara penumpang. Macam-macam penjual ada di kereta. Penjual koran, asesoris rambut Wanita, buku, hingga buah. Pedagang buah yang suka makan tempat nih, kan dia jualannya sambil bawa keranjang buah yang pikulan itu. Dua keranjang seorang, kebayang deh sempitnya itu gerbong. Yang lucu, pedagang buah ini jual di awal dia naik, misalnya buah jambu klutuk/jambu biji 10 ribu untuk sepuluh buah. Nanti menjelang dia turun di stasiun terakhir, dia menawarkan 10 ribu untuk dua belas buah. Jadi yang sudah beli di awal kadang jengkel mendengarkannya,"tadi si abang nawarinnya ga segitu, sekarang berubah." Si penjual dengan enteng menjawab,"yah bu, Namanya juga usahe hehehe."

Bentuk karcis atau tiket kereta apinya juga lucu. Mirip kartu domino, terbuat dari karton. Jadi ada nanti petugas yang memeriksa tiket (ticket chekers) yang kita sebut dengan petugas cetek-cetek, karena si petugas membawa alat untuk melubangi si tiket tadi. Yang sudah dilubangi berarti tiketnya sudah diperiksa oleh petugas. Nah dalam kesempatan ini, walau peraturannya yang tidak membawa tiket akan dedenda, tetapi pada kenyataannya, saking penuhnya penumpang, banyak juga penumpang yang nggak beli tiket. Kalau ketangkep petugas, ya mereka baru bayar tiketnya, kalau nggak ketahuan, s 'selamet' deh mereka naik kereta nggak bayar tiket. Kadang ada pemeriksaan, kalau begini, si petugas didampingi apparat keamanan. Yang kedapatan naik kereta nggak bawa tiket, kena denda. Yah begitulah.

Kondisi sekarang:  Tidak ada penjual asongan lagi. Pedagang di sekitar stasiun pun ditertibkan, sejalan dengan penertiban stasiunnya. Pedagang asongan hanya boleh berjualan di luar wilayah stasiun. Karena rupanya, konon kios-kios yang ada di dalam stasiun itu memang disewakan kepada para penyewa yang mau berjualan, tetapi uang sewanya tidak lari ke PT. KAI, tetapi lari ke oknumnya.  Dan penggantian sistem ini mendapat tentangan dari para penyewa kios sebelumnya (informasi tentang pembongkaran kios-kios ada di sini

Sekarang, yang tidak memiliki tiket tidak dapat naik ke CL, karena ada pagar yang menyeleksi penumpang bertiket. Anak-anakpun dengan tinggi badan di atas 90 cm, wajib memiliki tiket, sehingga anak-anak perlu mengukur tinggi badannya dulu sebelum memutuskan membeli tiket atau tidak. Daripada kena tegur petugas nantinya. Dengan kondisi ini tidak diperlukan lagi petugas untuk memeriksa tiket di atas kereta, karena semua penumpang kereta dapat dipastikan sudah membeli tiket CL.

Stasiun yang semrawut dan toilet

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun