Terdapat banyak pelarangan, seperti misalnya: tidak dibolehkan penggunaan nama asli (nama China) - sehingga mereka merubah semua nama menjadi nama Indonesia, tidak diperbolehkannya pelaksanaan ibadah Kong Hu Cu, tidak boleh ada perayaan Cap Go Meh, dilarangnya pertunjukkan Barongsay dan lain sebagainya yang terkait dengan atribut-atribut budaya atau kultur China. Secara resmi, larangan itu dicabut dimasa pemerintahan Presiden Abdurrakhman Wahid almarhum.
Vihara yang merupakan tempat ibadah umat Buddha yang diakui dalam 5 (lima) agama di Indonesia diperbolehkan melaksanakan kegiatannya secara bebas, untuk itulah, agar kelenteng dan umatnya 'aman', merekapun bergabung dengan Vihara agar dapat melaksanakan ibadahnya tanpa larangan. Terkadang bahkan terjadi pula, agar rasa aman itu ada, pemeluk Kong Hu Cu beralih agama kedalam salah satu dari lima agama yang saat itu resmi diakui oleh pemerintah. Dari luar memang yang nampak adalah hanya atribut Buddha, tidak ada sama sekali tanda bahwa di dalamnya ada Kelenteng. Sangat menyedihkan ya zaman pak Harto dahulu.
Di areal Vihara dan Kelenteng ini kami mendadak mendapat teman, seorang ibu umat Buddha yang baru saja selesai beribadah, yang tertarik bergabung dengan kami yang malah kemudian ikut mengantar kami berkeliling di tempat ibadah Buddha tersebut dan kemudian ikut mendengarkan penjelasan mbak Ira saat memasuki areal kelenteng yang berada di bagian belakang Vihara. Saya lupa nama lengkapnya, tetapi sebut saja bu Yulia. Bu Yulia menjelaskan yang ia ketahui seputar bagaimana ibadah umat Buddha. Bila melihat tempat ibadahnya, maka ibadah dilakukan dengan lutut diletakkan di lantai, terdapat alas lutut di lantai. Ruangan ibadah umat Buddha, terasa mistis bagi saya dan dinginnya AC menambah suasana tersebut. Sementara di Kelenteng, sedang ada kegiatan ritual, sehingga kami tidak diperbolehkan mengambil gambar. Namun dari bagian luar saja, sudah cukup melihat seperti apa dalamnya kelenteng itu.
Keluar dari Vihara dan Kelenteng, kami berjalan kaki kembali - karena namanya juga 'walking tour' ya, penuhi kegiatan kita dengan jalan kaki, kami berjalan menuju arah kiri, ke arah pantai. Kira-kira 500 meter, sampailah kami memasuki gerbang Pura Segara, tempat ibadahnya umat Hindu. Sepanjang perjalanan banyak dijual sea food dan restoran sea food, tetapi mbak Ira merekomendasikan satu sea food restoran, yaitu RM Babe. Katanya, ini sea food restaurant yang paling terkenal di kawasan itu. Setelah pulang dari Pura, kami merencanakan singgah makan siang sore (dan bagi sebagian yang belum lunch, maka itu menjadi lunch-nya), menikmati kelezatan masakannya.... can't wait....
Memasuki gerbang pura, terasa kesibukan perayaan Melasti hari itu. Banyak sekali orang datang, berpakaian adat Bali. Parkir kendaraan dipenuhi oleh banyak kendaraan, termasuk bis-bis untuk yang datang berombongan. Terlihat pula spanduk penyambutan untuk Bapak Gubernur DKI, bapak Heru. Rupanya, perayaan Melasti saat itu akan dihadiri oleh orang nomer satu di Jakarta ini. Kami berjalan melewati keriuhan itu, memotong tempat parkir menuju ke krematorium yang berada di sisi kiri pura. Saat kami tiba di krematorium, yang bagian pertama adalah krematorium dengan oven sedangkan krematorium berbahan bakar kayu terletak di bagian agak belakang. Saat kami tiba di krematorium itu sedang ada satu jenazah dalam proses pembakaran, kami mengamati situasi dari luar saja sambil menikmati kisah-kisah seputar krematorium dari mbak Ira, sang guide kami.