Tragis, itu kesan pertama saat saya mengetahui bahwa Penobatan Raja Gowa ke-37: I Maddusila Daeng Mannyori Karaeng Katangka Sultan Alauddin II, batal dilakukan di Istana Tamalate (atau lebih terkenal dengan sebutan Balla Lompoa yang berarti Rumah Besar) di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Informasi bahwa akan ada pelantikan ini sudah tersebar luas di berbagai media sosial bahkan direncanakan akan ada dua menteri yang hadir di acara penobatan tersebut. Pembatalan penobatan ini saya ketahui saat saya sudah berada di lokasi penobatan di Istana Balla Lompoa Ri Gowa, sekitar pk. 12.00 Wita siang tadi.
Awalnya saya agak enggan untuk hadir tepatnya menyaksikan acara penobatan Raja Gowa tersebut, karena sedang ada kesibukan tersendiri. Tetapi, karena poster tentang acara penobatan tersebut gencar lalu lalang di laman facebook saya yang menyatakan bahwa acara ini terbuka untuk umum serta berpikiran, wah .... kapan lagi dapat menyaksikan peristiwa budaya yang langka ini. Ya sudahlah, berangkat saja menuju lokasi penobatan di Kabupaten Gowa.
Sambil otw menuju lokasi penobatan, saya search informasi tentang rencana penobatan tersebut. Ups, rupanya tercatat telah ada konflik sebelumnya tentang siapa yang berhak menduduki 'tahta' Gowa tersebut, yaitu antara putra sulung (I Maddusila) dengan putra bungsu (Kumala Idjo) Raja Gowa sebelumnya atau Raja Gowa terakhir (disebut terakhir karena sejak tahun 1946, Kerajaan Gowa telah meleburkan diri kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia - NKRI). Raja Gowa terakhir adalah Andi Idjo yang juga merupakan Bupati Kabupaten Gowa pertama (sumber: Tempo Interaktif 17 januari 2014).
Dalam proses konfliknya, masing-masing anak raja itu melantik dirinya (dengan beberapa proses ritual kerajaan tentunya) menjadi Raja Gowa berikutnya, walau tanpa memiliki wilayah dan tanpa masyarakat, hanya dalam konteks budaya. I Maddusila dilantik lebih dahulu dibandingkan Kumala Idjo dengan perbedaan dalam waktu pelantikan dan lokasi pelantikan serta yang melantiknya menjadi sah sebagai Raja Gowa. Masing-masing mengklaim bahwa dialah Raja Gowa ke-37 yang benar dan yang sah. Padahal mereka bersaudara kandung (sumber: Tempo Interaktif 17 januari 2014).
Penobatan hari ini, karena konflik tidak/belum selesai, masih sarat konflik. Beberapa hari sebelumnya, I Maddusila beserta rombongan gagal memasuki pintu gerbang Istana Balla Lompoa, untuk membawa kerbau sebagai prasyarat melakukan ritual awal pra penobatan. Mereka dihadang Satpol PP dengan alasan bahwa Istana Balla Lompoa sedang digunakan untuk pelatihan Bimtek bagi para Satpol PP (foto terlampir) dan mereka sama sekali tidak mendapatkan informasi apapun terkait akan dilaksanakannya Penobatan Raja Gowa ke-37 tersebut (Sumber: Twitter @MetroTV dan Tribuntimur.com 29/5/016).
Sesampainya di Istana Balla Lompoa, walau sudah agak terlambat, saya melihat istana itu sepi-sepi saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa sudah berlangsung perhelatan besar di dalamnya. Pintu gerbang tertutup rapat dan bahkan terhalang sebuah spanduk gugatan tentang pusaka-pusaka Kerajaan Gowa yang telah banyak hilang (foto terlampir). Di belakang pintu gerbang Balla Lompoa tersebut terparkir dua buah truk milik Satpol PP untuk memperkuat menghalangi siapapun yang akan masuk ke dalam Balla Lompoa. Satpol PPpun terlihat banyak sekali berada di kawasan istana.
Jadi ketar-ketir juga nih. Lanjut masuk atau tidak ya? Karena saya tidak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya sejak pagi hingga siang saya tiba di Bala Lompoa. Karena merasa sudah terlanjur sampai di lokasi, ditambah rasa penasaran dan tersemangati 'naluri Kompasianer' saya untuk dapat menyajikan informasi yang menurut saya penting ini di Kompasiana, akhirnya dimantapkanlah diri ini untuk memasuki kawasan Istana Balla Lompoa. Entah diizinkan atau tidak. Bismillah deh.
Akhirnya saya mendapati seorang satpol keluar dari pintu pagar kecil di samping kiri gerbang, pintu tersebutpun tidak ada yang jaga, akhirnya sayapun masuk ke dalam kawasan istana tersebut.
Saya mendekati sekumpulan Satpol PP yang sedang bersantai di bawah rerimbunan pohon. Rupanya di situ sudah ada seseorang - utusan pejabat dari salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 9 (sembilan) jam perjalanan dari Makassar, yang rupanya menerima undangan resmi untuk acara penobatan raja, dan tampak kebingungan karena ternyata tidak ada acara penobatan di istana tersebut. Sayapun ikut nimbrung dengan pembicaraan mereka.
Sementara dari pihak satpol PP yang ada disitu memberikan keterangan sebagai berikut: