Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sri Mulyani Menang

29 November 2013   09:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.

Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don’ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.

Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa’ semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.

Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.

Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, “Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu.”

Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti ‘Lihat saja Sri Mulyani, neolib.’

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.

Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun