Mohon tunggu...
Bugi Kabul Sumirat
Bugi Kabul Sumirat Mohon Tunggu... Seniman - author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

panggil saja Kang Bugi. Suka nulis, suka ngevlog, suka ndongeng bareng si Otan atau si Zaki - https://dongengsiotan.wordpress.com. 📝: bugisumirat@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

KPU membuat saya GOLPUT

9 April 2014   09:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13970103981502428887

[caption id="attachment_330905" align="aligncenter" width="632" caption="Petugas memeriksa data pemutakhiran pemilih pemilu 2014, di Kelurahan Kenari, Jakarta, Selasa (4/6/2013). Komisi Pemilihan Umum mulai melakukan pendataan daftar pemilih untuk ikut dalam pemilihan umum 9 April 2014. (KOMPAS IMAGES/Roderick Adrian Mozes)"][/caption]

Saya berani mengatakan demikian, seperti judul tulisan di atas, dan saya yakin, andapun akan berpendapat yang sama dengan saya, setelah mengikuti pengalaman saya seperti saya sampaikan di bawah ini.

Seperti yang saya informasikan dalam profil Kompasiana di atas, yaitu bahwa saya memiliki KTP (e-KTP) DKI Jakarta (tempat kelahiran tercinta - tempat saya dibesarkan, juga tempat kediaman orang tua dan mertua saya), tetapi saya memiliki keluarga (Istri dan anak) yang tinggal di Bogor di sebuah rumah di lingkungan Bogor yang cukup aman, nyaman dan asri, namun secara resmi saya masih tercatat sebagai salah satu Peneliti Sosiologi Kehutanan di salah satu instansi pemerintah di Makassar.

Menjelang pemilu legislatif 9 April 2014 ini, saya sedikit dilanda kebingungan mengenai proses memilihnya, proses 'nusuk'nya. Hanya saja dalam keyakinan saya, karena ini adalah pesta demokrasi Rakyat Indonesia terbesar untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen nantinya serta kemudian pilpres di bulan Juli 2014, maka saya berkeyakinan bahwa proses yang perlu saya lalui adalah simpel dan mudah. Terlebih lagi MUI melalui fatwa haram golput-nya itu membuat saya yakin bahwa KPU akan mendukung proses agar seluruh rakyat Indonesia dapat melakukan hak politiknya, hak berdemokrasinya yaitu mengikuti proses pemilihan umum.

Tapi pengalaman yang saya alami membuktikan lain.

Semakin dekat dengan waktu pencoblosan, informasi yang saya terima semakin tidak pasti terkait status domisili saya dan kesempatan saya untuk melaksanakan hak memilih saya. Untuk itulah pada tanggal 25 Maret 2014 saya mengirimkan email mempertanyakan tentang kebingungan saya itu. Tapi rupanya mereka yang di KPU tidak mahfum membuka/menjawab email (hingga saat saya menulis posting ini di Kompasiana, email saya tidak pernah dijawab/respon) karena email saya tidak pernah di respon. Kalau saja email saja di respon, tentu dapat diantisipasi hal-hal yang diperlukan. Kebingungan tetap ada, akhirnya saya mendatangi kelurahan terdekat dari tempat tinggal saya di Makassar (tanggal 4 April 2014).

Jawaban petugas di kelurahan di Makassar cukup mengagetkan saya, yaitu bahwa pendaftaran untuk mereka yang ber-KTP diluar Makassar sudah selesai dua hari lalu (2 April 2014) dan saya tidak dapat mendaftarkan diri saya untuk memillih. Luar biasa, tanpa ada informasi tentang kapan pendaftaran itu dibuka dan lain sebagainya. kebingungan menjadi semakin menumpuk.

Menjelang hari H, saya mendapatkan informasi dari beberapa wilayah di kota Bogor (dasarnya adalah Surat Edaran KPU No. 249/KPU/IV/2014 tanggal 2 April 2014 dengan sifat: Mendadak dan Penting), dimana bagi mereka yang memiliki  KTP di luar kota agar segera menghubungi ketua RT dimana yang bersangkutan tinggal untuk meminta dibuatkan Surat Keterangan Domisili dari ketua RT, cukup ketua RT saja, tanpa harus diketahui oleh ketua RW maupun pihak kelurahan. Pada hari H, calon pemilih ini cukup membawa surat keterangan domisili dan fotokopi KTP dan KTP asli pada saat pencoblosan di waktu yang ditentukan, yaitu setelah pukul 12.00 WIB. So, simple, easy dan sangat memudahkan.

Wah, ada jalan nih untuk saya memilih, itu yang berkecamuk di kepala saya. Akhirnya pada tanggal 8 April 2014, sekitar pukul 19.00 wita, saya mendatangi ketua RT dimana saya tinggal di Makassar yaitu di Perumahan Bulurokeng, Makassar, untuk meminta surat domisili tersebut, tetapi rupanya, walau berada dalam wilayah negara yang sama, NKRI, lain di Bogor, lain di Makassar. Sang ketua RT di Makassar menolak memberikan surat domisili tersebut, dimana alasan yang diberikan adalah bahwa petunjuk KPU yang diterima hingga di tingkat RT di Makassar adalah mengharuskan saya membawa surat formulir pindah memilih dari KPPS dimana saya terdaftar. Karena e-KTP saya dikeluarkan di wilayah Cililitan, Jakarta Timur, maka saya harus meminta surat tersebut ke Cililitan. What!!! So ribet. Bagaimana mungkin saya melakukan hal tersebut, yaitu untuk memilih di Makassar, saya harus terbang dulu ke Jakarta untuk ambil selembar kertas - yang bernama formulir pindah memilih? Sungguh sangat mengherankan dan sangat tidak masuk akal. Pada kesempatan itu saya tidak mendebat si ketua RT karena dasar yang dikeluarkan adalah peraturan yang disampaikan oleh KPU, ya KPU.

Informasi yang samapun saya dapat dari PPK tingkat kecamatan di Makassar yang menyatakan hal yang sama yaitu untuk kasus seperti saya, tidak mememungkinan untuk ' me'nusuk' di Makassar jika tidak dilengkapi formulir pindah memilih tersebut.

Rasa penasaran (dan kejengkelan) saya semakin meninggi, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi di wilayah hukum yang sama: Republik Indonesia. Akhirnya saya menghubungi sahabat saya yang seorang staf ahli Walikota Makassar. Keheranan saya bertambah karena sang staf ahli ini hingga malam menjelang hari H, belum menerima surat undangan untuk memilih (dalam benak saya, kalau staf ahlinya saja mendapat perlakukan begini, bagaimana rakyat kebanyakan diperlakukan??). Tapi akhirnya sahabat saya itu mau membantu mencarikan informasi tambahan hingga saya dapat menghubungi Camat Kecamatan Biringkanaya, Makassar melalui telpon, pak Camat memperkuat pendapat sebelumnya yaitu bahwa tanpa formulir pindah memilih itu maka saya tidak dapat ikut memilih di Makassar. Walau saya telah katakan bahwa di Bogor berlaku hal yang berbeda. Dengan sopan dan terlebih dahulu memohon maaf, pak Camat mengatakan bahwa ia hanya menjalankan peraturan KPU dan aturan-aturan itu berada di luar kendalinya.

Saya paham sekali jawaban pak Camat dan sampai batas mana wewenangnya. Hanya saja saya tidak dapat memahami mengapa saya yang berada di wilayah hukum RI dan siap melaksanakan hak memilih saya terganjal oleh peraturan KPU yang menyulitkan ini, dan sayapun tidak mengerti mengapa Surat Edaran yang notabene dikeluarkan oleh KPU bisa TIDAK DIANGGAP oleh KPUD Makassar/Sulsel hingga menimbulkan pemahaman yang keliru hingga pemahaman yang dimiliki oleh SEORANG CAMAT. Saya memiliki KTP, saya memiliki NIK, saya memiliki karpeg dan lain sebagainya dokumentasi sebagai warga negara. Tetapi KPU mengeluarkan kebijakan yang tidak mendukung kemudahan bagi warga Indonesia melakukan hak memilihnya. Disamping itu bagaimana bisa kebijakan yang sama menjadi multi-interpretasi, berlainan yag diaplikasikan di Bogor dengan yang dipedomani di Makassar. Dalam hal ini, mana yang benar, pelaksanaan di Bogor atau Makassar?

Hal lain adalah bahwa KPU, jika yang terjadi di Makassar adalah benar, berarti telah mengeluarkan peraturan/kebijakan yang tidak ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia - dengan mengharuskan mengambil formulir pindah memilih, karena sangat menyulitkan ditambah rendahnya sosialisasi. Dalam hal ini saya memiliki keyakinan bahwa saya tidak sendiri. Banyak yang memiliki situasi dan kondisi seperti saya dan mengalami kesulitan yang sama dengan adanya peraturan itu.

Sementara, fakta lain di lapangan adalah (dari informasi yang saya terima dari dua kelurahan di Makassar dan satu kelurahan di Bogor bahwa banyak surat panggilan memilih yang tidak dapat digunakan karena nama yang tertera di surat panggilan tidak ada di alamat yang tercantum - puluhan surat tertolak dalam satu RT), dan ini termasuk bukti kecerobohan KPU - sementara saya yang cukup rumit memperjuangkan hak untuk dapat memilih, cukup diberi kesempatan 'menggigit jari' saja sebagai cerita episode antiklimaksnya. Sungguh ironis. Tapi itulah KPU kita, itulah cerminan pelaksana pesta demokrasi tertinggi di Republik Indonesia ini yang dikelola secara tidak sungguh-sungguh. Bagaimana KPU mau mengelola pemilihan umum dalam skala nasional ini kalau membalas email saja tidak mampu dan tidak bisa, dan menyebabkan orang-orang yang memiliki hak memilihnya akhirnya harus kehilangan hak memilihnya karena peraturan yang dibuat oleh KPU sendiri yang tidak dapat diberlakukan bagi semua orang dan diaplikasikan berbeda di tempat yang berbeda.

Untuk mereka yang di Bogor, saya ucapkan selamat, karena dengan situasi dan kondisi seperti saya, anda dapat tetap menunaikan hak pilih anda hari ini. Sementara saya yang di Makassar, cukup duduk manis menikmati siaran quick count di TV hari ini.

Semoga dapat dijadikan perhatian.

Makassar, 9 April 2014,

Yang akan kehilangan hak memilihnya hari ini:

@kangbugi

NB:

1.

- Isi Surat Edaran KPU (yang saya peroleh dari informasi teman di Bogor) no. 249/KPU/IV/2014 tanggal 2 April 2014 sifat mendadak dan penting, tentang diperbolehkannya seseorang yang belum terdaftar di DPT dapat melakukan pencoblosan, yaitu disarikan sebagai berikut:

---> warga setempat cukup menunjukkan KTP asli.

---> KTP bukan warga setempat harus ada surat keterangan domisilli RT/RW setempat.

---> jatah melakukan pencoblosan adalah pukul 12.00 - 13.00.

- Bagi yang belum terdaftar di DPT atau terdaftar di DPT tapi tidak bisa mencoblos di TPS asal karena berbagai alasan dan belum mengurus pindah mencoblos, yaitu:

---> Bagi yang berada di tempat sesuai alamat KTP, datang ke TPS pk. 07.00 untuk mendaftar DPTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) dengan menunjukkan KTP setempat (asli + 1 fotokopi). DPTKb baru diizinkan memilih pada pk. 12.00 - 13.00 di TPS tersebut.

---> Bagi yang mukim di daerah lain (bukan di alamat KTP) seperti mahasiswa tugas belajar, pegawai, wartawan, pengungsi, sakit, dll; silahkan membuat surat keterangan domisili lewat ketua RT/RW/dusun/yang setara, dan kepala desa. sertakan pula 1 lembar fotokopi KTP dan KTM/kartu pegawai. serahkan surat keterangan domisili tersebut pada hari-H pemilu di TPS jam 7.00 untuk mendaftar DPTb. Tunjukkan pula bukti KTP dan KTM asli. DPKTb baru bisa menggunakan hak pilihnya pada pukul 12.00 - 13.00.

2.

hal lain yang terlihat aneh adalah bahwa pada saat keterangan seperti tersebut di atas dikonfirmasikan kepada salah seorang anggota PPK (panitia pemilihan kecamatan) di salah satu TPS di perumahan di Sudiang, petugas PPK ini menyatakan bahwa surat edaran KPU tersebut tidak dapat digunakan karena sebagian besar parpol menolak surat edaran tersebut - demikian pernyataannya. Yang menjadi pertanyaan sebetulnya adalah PPK ini mengapa lebih memilih mendengarkan parpol dibandingkan mengikuti edaran KPU? Sungguh-sungguh aneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun