Kegiatan ujian, mulai dari tengah semester sampai akhir tahun pendidikan dilalui dengan biasa-biasa saja, tidak perlu persiapan khusus agar hasil akhir yang didapatkan baik. Tenpa persiapan pun, kegiatan ujian mereka lakukan tetap dengan senyum santai.
Alokasi waktu yang ditetapkan berdasarkan kemampuan rata-rata muridpun dilibas bak makanan ringan yang nikmat. Guru merancang soal ujian dengan mempertimbangkan kemampuan muridnya, diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu 90 sampai 120 menit, murid-murid masa kini, belum juga satu jam sudah pada ribut akan mengumpulkan lembar jawaban. Seolah soal ujian yang mereka hadapi begitu mudah dapat mereka selesaikan hanya separo, bahkan kurang dari perkiraan waktu yang dialokasikan guru.
Alih-alih hasilnya baik. Mengerjakan soal ujian dengan waktu yang sangat singkat, tetapi hasilnya jauh dari cukup. Jika guru menentukan target keberhasilan minimal 70, mereka hanya berhasil mendapatkan kurang dari 50.
Bapak ibu guru yang sudah membuat persiapan, menyiapkan materi, menyiapkan metode dan teknik dibuat tak berdaya ketika di hadapan mereka disajikan tuntutan bahwa murid-muridnya harus berhasil. Terlebih bagi sekolah yang menggunakan kurmer, kurikulum merdeka. Mereka dituntut harus menyelesaikan seluruh modul di apllikasi PMM milik kemendikbudristek.
Agar nilai kinerjanya sebagai guru mendapat penilaian baik, maka merekapun melakukan kesepakatan untuk mengakali agar nilai anak muridnya menjadi baik. Dibuatlah formula-formula agar nilai anak-anak muridnya setidaknya sama dengan standar minimal yang dipersyaratkan, agar terhindar dari predikat guru gagal.
Sepertinya keadaan seperti ini sudah berlangsung lama. Terbukti pada sikap anak-anak yang sudah begitu santai menghadapi kegagalan dalam belajar. Tanpa beban, tanpa penyesalan.
Pengakuan menyedihkan dari seorang murid sebuah sekolah menengah ketika ditanya sikapnya dengan hasil ulangan yang hanya mendapatkan angka 30. “hallah.., biar saja pak. Toh nanti di rapor juga mendapat 80”.
Perlakuan seperti ini akan sangat menyenangkan bagi anak, juga orang tua yang menyekolahkan anaknya. Bahkan tidak terlalu salah jika dikatakan ini adalah bentuk memanjakan anak. Dan ini-lah yang menjadi sebab mengapa cara mereka menghadapi hasil ulangan yang gagal begitu ringan dan santai. Tidak ada dampak apapun ketika mereka tidak melakukan persiapan, mengikuti proses belajar dengan ala kadarnya, menjawab soal ujian dengan asal saja. Toh hasil akhirnya harus baik.
Dapat kita bayangkan jika anak kita bertumbuh dalam kondisi termanjakan seperti itu. Mereka tidak pernah mendapatkan tantangan, mereka tidak pernah diajarkan untuk mendapatkan sesuatu dari sebuah proses usaha, mereka tidak pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan sesuatu. Tanpa harus belajar ilmu psikologipun kita tahu kondisi ini akan berakibat buruk pada anak.
Banyak orang tua yang merasakan, kini anak-anak mereka mudah marah jika keinginannya tidak dipenuhi, bahkan berani melawan orang tua saat dinasihati.
Banyak orang tua yang merasakan, bahwa anak-anak mereka tidak lagi memiliki motivasi untuk berkembang dan belajar agar menjadi lebih baik.