Mohon tunggu...
Budi Trikorayanto
Budi Trikorayanto Mohon Tunggu... konsultan pendidikan informal -

bergabung dengan Komunitas Sekolahrumah SEKOLAH PELANGI, Pamulang. Ketua Asosiasi SekolahRumah dan Pendidikan Alternatif (AsahPena) Kota Tangerang Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolahrumah: "Biarlah anaku bahagia dengan apa yang ia inginkan, bukan yang saya cita-citakan".

24 Oktober 2010   22:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:08 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pemerhati pendidikan, simpatisan sekolahrumah, menulis di facebook: "Biarlah anaku bahagia dengan apa yang ia inginkan, bukan yang saya cita-citakan".

Pernyataan tersebut di atas tidak jarang saya dengar. Tentu saja keluarga yang normal ingin anaknya berbahagia. Pemahamannya kurang lebih adalah: keinginan dan cita-cita orangtua bukanlah yang utama, orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak, biarlah anak-anak berkembang sesuai dengan keinginannya dan mereka akan bahagia dengan demikian.

Dalam praktek bersekolahrumah, salah satu pendekatan belajarnya adalah 'children driven learning'; belajar terserah anak, tidak boleh dipaksakan, anak yang tidak berbahagia dalam belajar tidak akan membuat dia bertambah cerdas.

Bagi saya, pernyataan di atas mengandung bahaya dan tidak bisa diterima begitu saja. Silakan renungi dan lihatlah ke sekeliling, termasuk mencermati anak-anak kita sendri.

Usaha Sadar dan Terencana

Definisi Pendidikan adalah "usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya...". Mesti dipahami bahwa pendidikan (termasuk bersekolahrumah), adalah usaha sadar dan terencana; bukan insidentil, hit n run, dan mestilah sungguh-sungguh terkendali. Anak bisa belajar apapun, dimanapun, kapanpu, dengan siapapun; tetapi ketika pembelajaran itu tidak terencana dan kebetulan saja terjadi, maka itu bukanlah suatu pendidikan.

Metode children driven learning, atau unschoolingi mengandung filosofi yang bagus dan telah teruji menghasilkan anak-anak yang kreatif dan spesialis; tetapi dalam penerapannya di negri kita hal ini patutlah dicermati kembali. Jangan sampai malah menjadi metode mau-maunya anak dan sebisanya orangtua. Tanpa kesadaran dan perencanaan sama sekali.

Aruspokok pendidikan nasional adalah pendidikan formal, bisa dilihat dari anggaran, waktu dan energi yang dicadangkan pemerintah untuk pendidikan formal, dibandingkan yang dialokasikan untuk pendidikan nonformal informal (Dirjen PNFI). Standar nasional pendidikan adalah acuan utama pencapaian pendidikan formal/nonformal serta anak-anak dari jalur pendidikan informal yang ingin memperoleh pengakuan.

Kebutuhan akan ijasah/pengakuan jelaslah sangat penting, tanpa pengakuan ini tidak akan bisa menapaki jenjang pendidikan (formal) yang lebih tinggi. Untuk anak yang belajar dengan metode semau gue tersebut di atas, memperoleh pengakuan dan ijasan nasional bukanlah perkara sulit. Bukan karena standar kompetensi nasional yang rendah, tetapi proses UN yang penuh kecurangan dan mengemban misi politik pendidikan daerah.

Apa yang diinginkan anak-anak?

Banyak sekali saya berjumpa dengan anak-anak sekolahrumah by accident. Anak-anak yang masuk jalur pendidikan informal karena drop out dari sekolah formal. Sebagian besar anak DO tersebut bukan karena kurang cerdas, tetapi karena keinginannya berbeda dengan keinginan sekolah (formal). Mereka ingin tidur sampai siang, sekolahnya masuk pagi; mereka ingin seharian fesbukan atau game online, sekolah memberikan banyak PR. Maunya belajar jadi pembalap atau penyanyi, sekolah menghendaki belajar matematika. Sebagian besar anak drop out sekolahformal dan menjadi homeschooler (entah yang tunggal atau bergabung dengan komunitas hs yang telah ada), karena tidak dapat menyelaraskan/mengendalikan  keinginan dirinya sendiri dengan apa yang dimaui sekolah.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tidak drop out dan tetap mantap di sekolah formal? Dalam suatu riset pinggir jalan, saya berusaha memahami kenapa anak-anak  itu pergi ke sekolah; dengan buku satu ransel yang membuat punggung bungkuk dan sambil mengantuk tidak sempat sarapan masuk sekoah. Apakah karena cinta matematika? Berbahagia belajar fisika? Mereka sekolah karena memang harus sekolah, adalah penyimpangan budaya jika anak tidak sekolah; mereka juga rindu teman-teman sebaya mereka; dan tentu saja, mereka membutuhkan pengakuan/ijasah dan status sebagai anak sekolah.

Janganlah percaya riset pinggir jalan tersebut, cobalah cermati anak-anak kita sendiri, mengapa mereka bersekolah? apa yang sejatinya mereka ingin lakukan jika diberikan kebebasan: lakukan apa yang engkau inginkan, jadilah anak-anak yang berbahagia....

Mereka adalah anak panah di tangan pahlawan

Anak-anak adalah manusia pembelajar. Mereka mencermati lingkungannya, berbagai informasi yang mereka peroleh. meneladani yang mereka lihat; orangtua memasukan berbagai nilai-nilai yang dipercayainya kepada si anak, menuntut mereka untuk memahami mana yang baik dan mana yang tidak. Seorang anak adalah jadi menurut rupa dan gambar dari orangtuanya. Seberapa pahlawankah ayah bundanya mengarahkan dan melesatkan anak panah itu?

"Apa yang engkau inginkan anaku? sehingga engkau menjadi anak yang berbahagia?".

Apa jawab mereka? apakah mereka tahu apa yang mereka inginkan? apakah mereka menjawab dengan lebih banyak pertanyaan? apakah salah orangtua mencita-citakan yang terbaik bagi si anak?

Saya khawatir, pernyataan orangtua pesekolahrumah: "biarlah anak berbahagia melakukan yang dia inginkan", muncul dari ketidakmampuan orangtua dalam mengarahkan anak. Tidak sedikit saya melihat orangtua yang frustasi tidak mampu mengendalikan si anak setelah mereka memasuki fase remaja, kegagalan mendidik anak.

Mengajar anak sendiri bukanlah perkara mudah. Ada kecenderungan anak lebih manis dan berupaya menyesuaikan diri ketika dia mondok di keluarga lain. Dan sangatlah jelas anak memerlukan teman sebaya, pertanyaan mengenai aspek sosialisasi anak homeschooling bukanlah tanpa dasar.

Salam pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun