Dalam APBN 2019, Pemerintah telah menyiapkan anggaran dana bantuan untuk kelurahan atau Dana Kelurahan sebesar Rp3 triliun. Dana ini akan disalurkan dengan mekanisme Dana Alokasi Umum tambahan untuk 8.212 kelurahan di semua provinsi selain kelurahan di DKI Jakarta.Â
Dana Kelurahan muncul setelah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) mengusulkan kepada Presiden pentingnya Kelurahan mendapatkan seperti Dana Desa yang terbukti telah banyak membantu meningkatkan ekonomi warga desa.Â
Berdasarkan penyampaian APEKSI, banyak kelurahan yang dari karakteristik ekonomi dan mata pencaharian warga memiliki banyak kemiripan dengan desa. Selain itu, terdapat beberapa persoalan yang perlu diselesaikan dengan lebih cepat antara lain pengangguran, kemacetan, tingkat pendidikan yang masih rendah, masih banyaknya tingkat ekonomi masyarakat dalam kategori miskin, dan masih sering munculnya permasalahan sosial.
Sebelum masuk pembahasan tentang dana kelurahan, perlu kita pahami selama ini seperti apa mekanisme pendanaan kebutuhan untuk kelurahan. Pendanaan untuk kelurahan diatur dalam Pasal 230 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Bagi Kotamadya, yaitu Pemda yang tidak memiliki Desa, alokasi anggaran untuk pembangunan melalui sarana dan prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.Â
Dalam ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan pasal 30, anggaran yang wajib dialokasikan untuk kelurahan adalah paling sedikit 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Hal mendasar yang juga harus diperhatikan adalah dalam UU Pemda, kelurahan merupakan perangkat dari kecamatan. Oleh karena itu mekanismenya akan berbesa dengan desa, yang secara kedudukan merupakan pemerintahan otonom.Â
Dengan UU Pemda ditetapkan pada tahun 2014, kedudukan kelurahan sebagai satker hilang dan yang paling rendah adalah kecamatan. Kelurahan menjadi satker kecamatan. Di APBD juga tidak ada pos anggaran sendiri kelurahan sehingga proses pengelolaan anggaran adalah camat.Â
Kelurahan adalah aparat kecamatan yang adanya di kantor kelurahan. Ini yang harus menjadi perhatian, dimana kalau kemudian diberikan dana kelurahan lurah sebagai apa?Â
Dari sisi fiskal, perlu menjadi perhatian bahwa lurah bukan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). KPA adalah camat, dan Pengguna Anggaran adalah Walikota. Di satu sisi, adanya Dana Kelurahan penting agar Lurah bisa lebih fleksibel dalam menggunakan anggaran yang siafatnya segera dan urgent.
Solusi yang diberikan adalah Dana Kelurahan masuk dalam mekanisme Dana Tambahan Dana Alokasi Umum (DAU tambahan) Solusi ini dinilai banyak pihak sudah tepat dan memiliki landasan hukum yang lebih kuat karena APBN ditetapkan dengan Undang-Undang.Â
Tambahan DAU untuk kegiatan produktif juga penting karena masih banyak penggunaan DAU di daerah yang kalau dipilah komponennya, sebagian DAU di daerah dipakai untuk gaji pegawai. Kalau DAU tidak signifikan perubahannya, perlu dilihat apakah tambahan dana kelurahan akan terakomodir.
Di era sekarang dimana masyarakat mudah menyampaikan masukan kepada aparat melalui media sosial, aplikasi dan lain-lain, diperlukan penanganan yang cepat apabila ada masukan dari masyarakat.Â
Dana Kelurahan ini bisa menjadi salah satu solusi pengeluaran anggaran yang cepat untuk kebutuhan masyarakat. Namun demikian, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan dana kelurahan ini. Jangan sampai terjadi kasus-kasus yang mirip dengan dana desa yaitu ditangkapnya beberapa kepala desa karena adanya penyalahgunaan penggunaan dana desa.Â
Berdasarkan diskusi publik yang dilakukan oleh Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, terdapat beberapa PR untuk dana kelurahan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dengan adanya dana kelurahan adalah:
Pertama, kejelasan debirokratisasi. Dalam kenyataan di lapangan, adanya terjadi proses birokratisasi pengurusan pendanaan ketika dana keluar dari kecamatan. Prosedur pengajuan anggaran yang harus dilihat dari APBD, kemudian melalui serangkaian prosedur akan menghambat beberapa pos anggaran yang mendesak dikeluarkan.Â
Prosedur yang lama dipotong birokrasinya melalui anggaran kelurahan. Dalam anggaran kelurahan harus ada kejelasan debirokratisasi anggaran mana yang bisa dibelanjakan dengan dana kelurahan dan anggaran mana yang dikeluarkan dengan dana APBD.
Kedua, pelimpahan wewenang yang jelas. Proses pengeluaran dana kelurahan yang cepat bisa berpotensi saling mengalihkan tanggung jawab. Ketika ada permasalahan yang terjadi, jangan sampai terkesan saling lempar siapa yang harus mengeluarkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur dan layanan masyarakat. Kalau terjadi kesalahan, apakah camat bisa mengatakan ini adalah pekerjaan lurah.Â
Kalau dana desa, kepala desa bisa tanggung jawab. Kelurahan bukan entitas akuntansi sehingga tidak bisa membuat laporan sendiri. Dalam konstruksi pemerintahan kita, kelurahan adalah bagian dari kecamatan namun secara fiskal dana kelurahan langsung turun dari Walikota.Hubungan kelembagaan dan hubungan fiskal harus selaras dan harus jelas dari aturannya.
Ketiga, pengawasan yang ketat. Sebagaimana dana desa, di awal peluncuran kebijakannya karena ini gelondongan dan penggunaan berdasarkan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Instansi pengawas keuangan daerah dan masyarakat perlu melakukan pemantauan, apakah kabupaten kota ini benar-benar disalurkan. Perlu dipastikan apakah alokasi Rp 300 juta per kelurahan benar-benar terlihat dalam dokumen APBD.Â
Jangan sampai kelurahan hanya mendapatkan sisa, atau bahkan ada yang tidak mendapatkan. Ini perlu riviu dari Kementerian Dalam Negeri, apakah dana kelurahan sudah dianggarkan dalam APBD.
Keempat, sustainabilitas. Karena ini adalah dana bantuan, akan ada kemungkinan kalau tidak ada di tahun berikutnya. Berbagai pihak harus melakukan evaluasi penggunaan dan pemanfaatan dana ini serta pengaruh positifnya terhadap kemajuan ekonomi masyarakat. Hasil evaluasi tersebut bisa menjadi bahan untuk keberlanjutan di tahun berikutnya.Â
Output berupa pembangunan sarana dan prasarana fisik serta pengaruh positifnya bisa disampaikan ke berbagai media dan sebagai laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran ini.
Kelima, perencanaan penggunaan. Mengacu kepada dana desa, Â dana kelurahan bisa menjadi kantong belanja dan bisa menjadi kluster belanja tertentu. Yang diharapkan adalah stimulan yaitu nilai tambah beberapa tahun kemudian berapa jumlah wirausaha, dan menjadikan kelurahan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Meskipun alokasi utk pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat, stimulasi ini harus menjadi target sehingga nilai ekonomi lebih nyata.Â
Jangan sampai menjadi belanja tapi terobosan dari dana ini tidak tampak. Perlu strategi dan inovasi serta target yang terukur dan bisa menggerakkan kelurahan secara utuh. Strategi ini perlu diterapkan secara nasional sehingga pengukuran keberhasilan penggunaannya bisa diukur dalam skala nasional.
Keenam, harus ada kapasitas dan integritas. Dalam kapasitas butuh pendampingan. Jangan mengasumsikan karena kelurahan isinya Aparatur Sipil Negara, maka sudah ada pengelola dana yang bagus.Â
Adanya pendampingan untuk peningkatan kapasitas aparat kelurahan diperlukan untuk membantu merencanakan, mencatat, mengeluarkan dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana kelurahan.Â
Tenaga pendamping dilakukan oleh tenaga yang memiliki kapasitas dan kompetensi. Dengan tenaga pendamping yang memiliki kemampuan teknis dan integritas akan menjadi hal yang bermanfaat untuk keberlangsungan dan keberhasilan dana kelurahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H