Mohon tunggu...
Ibudias
Ibudias Mohon Tunggu... Aktris - Karyawan Swasta

Saya Karyawan dan suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Bandung di Antara Kopi Susu dan Kapitalisme Lokal: Romantisme yang Semakin Menyala!

11 Januari 2025   22:34 Diperbarui: 11 Januari 2025   22:49 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cafe Malam dengan Spot ikonik Kota Bandung (Sumber:https://pin.it/3PJJX1oru)

"Sekarang kopi lebih mirip komoditas gaya hidup ketimbang pengalaman rasa,"

Bandung dulu adalah kota yang menawarkan mimpi manis bagi siapa pun yang ingin merasakan atmosfer santai, kreatif, dan indie. Kota ini punya warisan panjang dalam dunia seni, musik, dan gaya hidup yang seakan lebih slow dibanding Jakarta yang brutal. Tapi Bandung sekarang? Kalau lo masih berpikir kota ini adalah tempat untuk 'ngadem' dari hiruk-pikuk ibu kota, siap-siap kecewa. Karena di balik latar belakang senja dan lirik-lirik Fiersa Besari, Bandung juga jadi saksi bagaimana romantisme ala indie dihancurkan oleh kapitalisme lokal.

Dari Kopi Cangkir ke Cup Plastik dengan Logo Lucu

Dulu, ngopi di Bandung punya karakter yang lebih organik. Warung kopi berjejer di gang-gang kecil dengan cita rasa yang kuat dan harga yang ramah di kantong mahasiswa. Lo duduk di bangku kayu reyot, ngebahas teori konspirasi sambil mendengarkan playlist Radiohead atau Sigur Rs dari speaker yang udah hampir jebol. Ada sensasi magis di situ.

Sekarang? Kopi di Bandung bukan sekadar minuman, tapi produk industri. Dari Dago sampai Buah Batu, setiap sudut kota dipenuhi coffee shop yang menawarkan vibes lebih dari rasa. Tempat yang dulunya kecil dan akrab sekarang berubah jadi franchise dengan logo menggemaskan, interior estetik, dan harga yang bikin dompet mahasiswa nangis.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana teori Kapitalisme dan Komodifikasi Budaya dari Karl Marx dan Jean Baudrillard menggambarkan transisi ini. Marx misalnya, ia berpendapat bahwa kapitalisme mengubah segala sesuatu menjadi komoditas, termasuk kopi dan gaya hidup indie di Bandung. Baudrillard menambahkan bahwa dalam masyarakat konsumer modern, simbol lebih penting daripada fungsi. Dengan kata lain, kopi sekarang lebih tentang citra yang bisa dipamerkan di Instagram ketimbang kenikmatan rasa itu sendiri.

Harga yang Naik, Esensi yang Turun

Siapa yang masih ingat dengan kopi tubruk 5 ribuan yang bisa bikin lo melek semalaman? Sekarang, harga kopi di Bandung bisa bersaing dengan harga kopi di Jakarta. Latte dengan oat milk? 35 ribu. Kopi susu gula aren? 25 ribu. Ironisnya, kopi dari warung tradisional yang dulu dianggap remeh malah lebih otentik dan murah.

Masalahnya bukan cuma soal harga. Rasa kopi yang dulunya penuh karakter sekarang lebih didikte pasar. Semua coffee shop menawarkan kopi susu gula aren, seakan nggak ada inovasi lain. Branding lebih diutamakan dibanding kualitas. Banyak tempat lebih mementingkan dekorasi dan sudut foto dibanding keunikan rasa kopinya sendiri.

"Sekarang kopi lebih mirip komoditas gaya hidup ketimbang pengalaman rasa," kata Bayu, mantan barista yang kini banting setir jadi ilustrator freelance. "Dulu kita punya banyak coffee shop independen yang bener-bener peduli sama biji kopi dan cara seduhnya. Sekarang, banyak yang cuma fokus ke packaging dan strategi media sosial."

Pergeseran ini menurut Antonio Gramsci adalah hegemoni budaya. Dalam pandangan Gramsci, kapitalisme tidak hanya bekerja melalui ekonomi, tetapi juga dengan mengontrol budaya dan selera masyarakat. Dalam kasus ini, hegemoni pasar menciptakan standar baru: coffee shop yang sukses adalah yang bisa memenuhi ekspektasi visual dan media sosial, bukan sekadar yang punya kopi enak.

Antara Kapitalisme Lokal dan Keunikan yang Tergusur

Kopi hanyalah satu contoh kecil dari perubahan besar di Bandung. Kota ini berkembang pesat dalam dekade terakhir, tapi di balik pertumbuhan itu ada pertanyaan besar: Apakah Bandung masih Bandung yang dulu?

Gentrifikasi menjadi masalah nyata. Kawasan yang dulu penuh dengan kedai kecil dan ruang kreatif independen kini berubah jadi deretan ruko dan kafe mahal. Tempat yang dulu diisi seniman jalanan kini diambil alih oleh bisnis besar dengan modal kuat. David Harvey menyebutnya sebagai Gentrifikasi dan Perubahan Ruang Kota. Harvey menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan proses di mana wilayah yang sebelumnya dihuni oleh komunitas lokal perlahan-lahan dikomodifikasi dan diambil alih oleh bisnis yang lebih besar. Dago Atas dan Braga adalah contoh konkret bagaimana kapitalisme lokal menggusur ruang kreatif organik dan menggantikannya dengan tempat yang lebih menguntungkan secara ekonomi.

Salah satu contoh nyata adalah kawasan Dago Atas. Tempat ini dulu identik dengan suasana adem dan hidden gem buat nongkrong santai. Sekarang? Lo akan kesulitan menemukan tempat yang nggak dipenuhi pengunjung dengan outfit hypebeast atau kaum urban yang sibuk mencari spot foto terbaik untuk Instagram.

Budaya Kreatif yang Terkapitalisasi

Bandung selalu punya reputasi sebagai kota kreatif. Dari musik indie sampai fashion streetwear, semuanya tumbuh di kota ini. Tapi semakin berkembangnya industri kreatif, semakin sulit membedakan mana yang benar-benar orisinal dan mana yang sekadar ikut tren.

Brand lokal yang dulunya punya idealisme kini harus beradaptasi dengan pasar yang lebih luas. Harga produk naik, segmentasi berubah, dan esensi awalnya perlahan terkikis. Lo bisa lihat ini di banyak brand clothing Bandung yang kini lebih fokus pada kolaborasi dengan influencer dibanding membangun komunitas.

"Dulu, kita jualan kaos buat teman-teman skena, bukan buat influencer," kata Dimas, pemilik brand streetwear kecil yang kini mulai kesulitan bertahan. "Sekarang, kalau lo nggak punya campaign digital yang kuat, lo bakal tenggelam di lautan hype."

Industri kreatif Bandung yang dulunya punya nilai sentimental kini lebih dikendalikan algoritma. Kalau produk lo nggak masuk ke TikTok atau nggak viral di Instagram, siap-siap aja dilibas oleh pemain besar yang punya modal untuk memasang iklan.

Bandung dan Identitas yang Samar

Ada satu pertanyaan besar: Apakah Bandung masih bisa mempertahankan identitasnya di tengah arus kapitalisme yang semakin menggila?

Jawabannya mungkin rumit. Bandung masih punya sisi romantisnya. Masih ada sudut-sudut kota yang menawarkan ketenangan, warung kopi kecil yang mempertahankan kualitas, serta komunitas yang masih setia pada idealisme mereka. Tapi kota ini juga berubah, dan perubahan itu nggak selalu indah.

Kita mungkin nggak bisa menghentikan laju kapitalisme, tapi kita bisa memilih untuk tetap mendukung yang otentik. Kita bisa tetap mencari kedai kopi kecil yang masih mempertahankan cita rasa, membeli produk dari brand yang masih punya nilai, dan tetap menjaga ruang-ruang kreatif agar nggak sepenuhnya dikuasai oleh modal besar.

Karena pada akhirnya, Bandung bukan sekadar kota. Bandung adalah cerita, dan cerita ini seharusnya nggak ditulis oleh kapitalisme semata.

Referensi 

  • Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. SAGE Publications.
  • Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
  • Harvey, D. (2008). The Right to the City. New Left Review.
  • Marx, K. (1867). Capital: Critique of Political Economy, Volume I. Penguin Classics.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun