Ada satu pertanyaan besar: Apakah Bandung masih bisa mempertahankan identitasnya di tengah arus kapitalisme yang semakin menggila?
Jawabannya mungkin rumit. Bandung masih punya sisi romantisnya. Masih ada sudut-sudut kota yang menawarkan ketenangan, warung kopi kecil yang mempertahankan kualitas, serta komunitas yang masih setia pada idealisme mereka. Tapi kota ini juga berubah, dan perubahan itu nggak selalu indah.
Kita mungkin nggak bisa menghentikan laju kapitalisme, tapi kita bisa memilih untuk tetap mendukung yang otentik. Kita bisa tetap mencari kedai kopi kecil yang masih mempertahankan cita rasa, membeli produk dari brand yang masih punya nilai, dan tetap menjaga ruang-ruang kreatif agar nggak sepenuhnya dikuasai oleh modal besar.
Karena pada akhirnya, Bandung bukan sekadar kota. Bandung adalah cerita, dan cerita ini seharusnya nggak ditulis oleh kapitalisme semata.
ReferensiÂ
- Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. SAGE Publications.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
- Harvey, D. (2008). The Right to the City. New Left Review.
- Marx, K. (1867). Capital: Critique of Political Economy, Volume I. Penguin Classics.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H