Mohon tunggu...
Ibudias
Ibudias Mohon Tunggu... Aktris - Karyawan Swasta

Saya Karyawan dan suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Bandung di Antara Kopi Susu dan Kapitalisme Lokal: Romantisme yang Semakin Menyala!

11 Januari 2025   22:34 Diperbarui: 11 Januari 2025   22:49 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergeseran ini menurut Antonio Gramsci adalah hegemoni budaya. Dalam pandangan Gramsci, kapitalisme tidak hanya bekerja melalui ekonomi, tetapi juga dengan mengontrol budaya dan selera masyarakat. Dalam kasus ini, hegemoni pasar menciptakan standar baru: coffee shop yang sukses adalah yang bisa memenuhi ekspektasi visual dan media sosial, bukan sekadar yang punya kopi enak.

Antara Kapitalisme Lokal dan Keunikan yang Tergusur

Kopi hanyalah satu contoh kecil dari perubahan besar di Bandung. Kota ini berkembang pesat dalam dekade terakhir, tapi di balik pertumbuhan itu ada pertanyaan besar: Apakah Bandung masih Bandung yang dulu?

Gentrifikasi menjadi masalah nyata. Kawasan yang dulu penuh dengan kedai kecil dan ruang kreatif independen kini berubah jadi deretan ruko dan kafe mahal. Tempat yang dulu diisi seniman jalanan kini diambil alih oleh bisnis besar dengan modal kuat. David Harvey menyebutnya sebagai Gentrifikasi dan Perubahan Ruang Kota. Harvey menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan proses di mana wilayah yang sebelumnya dihuni oleh komunitas lokal perlahan-lahan dikomodifikasi dan diambil alih oleh bisnis yang lebih besar. Dago Atas dan Braga adalah contoh konkret bagaimana kapitalisme lokal menggusur ruang kreatif organik dan menggantikannya dengan tempat yang lebih menguntungkan secara ekonomi.

Salah satu contoh nyata adalah kawasan Dago Atas. Tempat ini dulu identik dengan suasana adem dan hidden gem buat nongkrong santai. Sekarang? Lo akan kesulitan menemukan tempat yang nggak dipenuhi pengunjung dengan outfit hypebeast atau kaum urban yang sibuk mencari spot foto terbaik untuk Instagram.

Budaya Kreatif yang Terkapitalisasi

Bandung selalu punya reputasi sebagai kota kreatif. Dari musik indie sampai fashion streetwear, semuanya tumbuh di kota ini. Tapi semakin berkembangnya industri kreatif, semakin sulit membedakan mana yang benar-benar orisinal dan mana yang sekadar ikut tren.

Brand lokal yang dulunya punya idealisme kini harus beradaptasi dengan pasar yang lebih luas. Harga produk naik, segmentasi berubah, dan esensi awalnya perlahan terkikis. Lo bisa lihat ini di banyak brand clothing Bandung yang kini lebih fokus pada kolaborasi dengan influencer dibanding membangun komunitas.

"Dulu, kita jualan kaos buat teman-teman skena, bukan buat influencer," kata Dimas, pemilik brand streetwear kecil yang kini mulai kesulitan bertahan. "Sekarang, kalau lo nggak punya campaign digital yang kuat, lo bakal tenggelam di lautan hype."

Industri kreatif Bandung yang dulunya punya nilai sentimental kini lebih dikendalikan algoritma. Kalau produk lo nggak masuk ke TikTok atau nggak viral di Instagram, siap-siap aja dilibas oleh pemain besar yang punya modal untuk memasang iklan.

Bandung dan Identitas yang Samar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun