Prabowo Subianto yang berkunjung ke Surakarta mendapat sambutan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka bersama belasan perwakilan relawan Jokowi-Gibran pada Jumat (19/05/23). Meski tujuan kedatangannya hanya silaturahmi dengan Gibran, namun di ujung acara Prabowo mengaku kaget mendapat dukungan maju nyapres dari relawan Gibran-Jokowi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.Â
Calon presiden Partai GerindraTak urung pertemuan itu berbuntut pemanggilan Gibran sebagai kader partai kepala banteng oleh DPP PDI-P ke Jakarta. Karena, bagaimanapun PDI-P sudah sepakat mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres pilihannya.
Pemanggilan tersebut diduga untuk mengkonfirmasi ajakan Gibran pada relawan pendukungnya dan relawan Jokowi yang bakal mensupport Prabowo sebagai capres. Terlebih, di kalangan kader pertemuan itu memunculkan polemik, sebagaimana ditunjukkan mantan Walikota Solo FX Hadi Rudyanto yang mengingatkan kader PDI-P (utamanya yang ada di gerbong Gibran dan Jokowi) untuk tidak sekali-kali mengkhianati keputusan partai.Â
Gestur politik Presiden Joko Widodo dan keluarganya, utamanya Gibran, dinilai miring ke capres Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Padahal diketahui Joko Widodo, yang secara terang-terangan cawe-cawe dalam ikut menentukan calon presiden sesuai preferensinya, dengan menjagokan Ganjar Pranowo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra).Â
Beberapa pengamat menilai Jokowi lewat manuver politik yang dilakukan anak-anaknya sedang memainkan strategi politik dua kaki. Pasalnya, partainya sudah menyepakati Ganjar Pranowo sebagai capres yang wajib didukung kadernya. Benarkah demikian?
Etika Politik
Dalam khasanah politik, fatsoen politik dua kaki memang menjadi isu yang sensitif di kalangan para praktisi politik dan juga para akademisi, khususnya para pengkaji etika. Ini dikarenakan manuver itu bertentangan dengan etika politik. Fatsoen politik dua kaki dianggap menunjukkan sikap ketidakkonsistenan dan rendahnya kejujuran politik si pelaku.Â
Sikap konsisten dan kejujuran berpolitik adalah bagian dari etika politik yang sesuai dengan tujuan politik itu sendiri. Menurut perspektif filsuf Aristoteles, mereka yang terjun ke dunia politik harus bisa melahirkan karakter tertentu pada dirinya dan warga negaranya. Dia harus mampu dan menjadi contoh baik dan bisa mengarahkan tindakannya secara mulia. Itulah mengapa politik harus mengedepankan etika.
Dalam pendekatan psikologi politik, sikap politik dua kaki adalah karakter politisi lemah dan menimbulkan keraguan, meski seolah ingin menyeimbangkan kepentingan pihak-pihak yang terlibat atau berkontestasi. Manuver demikian dilakukan sebagai suatu kebutuhan si politisi dalam menyesuaikan dirinya dengan norma dan ekspektasi sosial, mulai dari:Â
Pertama, ekspektasi parpol. Gesture Jokowi diuji lewat manuver Gibran kepada sosok Prabowo baru-baru ini. Pertemuan Gibran seakan memberi gambaran adanya representasi kebutuhan dan kepentingan Jokowi terhadap salah satu calon presiden, dalam hal ini pada Prabowo. Tentu saja "kebutuhan" itu dinilai kontradiktif dengan ekspektasi parpolnya, PDIP yang telah mengusung Ganjar Pranowo. Ada norma politik Jokowi yang keluar dari  pilihan parpolnya.Â
Kedua, ekspektasi pengusung dana. Manuver itu dilakukan karena para pengusung dana politik yang selama ini bermain di belakang Jokowi, lebih berharap menempatkan Prabowo sebagai sosok yang bisa menjamin keberlanjutan mereka berada di lingkaran kekuasaan. Prabowo dinilai bisa memberikan jaminan kontinuitas karena lebih dekat dengan Jokowi dibanding Ganjar.Â
Ketiga, ekspektasi konstituen. Sikap gesture Jokowi itu juga menjadi sinyal bahwa manuver dua kaki dilakukan untuk menjawab harapan para pendukungnya yang lebih berpihak pada Prabowo. Indikasi itu bisa dilihat dari kehadiran relawan pendukung Gibran dan Jokowi se-Jawa Tengah dan se-Jawa Timur yang menyatakan deklarasi dukungan kepada Prabowo Subianto di acara tersebut.Â
Ketiga faktor itu, bisa dilihat sebagai upaya Jokowi menyesuaikan retorika dan tindakannya tetap sesuai dengan apa yang dianggap baik atau populer di mata publik, khususnya pendukung setianya. Terlebih sebagai figur yang selalu mengedepankan pencitraan positif, hal ini bisa menjadi salah satu pilihan ideal. Â
Namun begitu manuver politik dua kaki ini dalam beberapa kasus di Indonesia biasa dilakukan politisi maupun partai politiknya sebagai suatu strategi pragmatis untuk mencapai tujuan politik mereka. Kompromi atau sikap ketidak-konsistenan pada prinsip politik dinilai efektif dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik mereka.Â
Sayangnya, sikap pragmatis ini bisa menimbulkan ketegangan dan ketidakpercayaan publik terhadap pelaku politik dua kaki, bahkan proses politik secara keseluruhan. Integritas politiknya malah bisa dipertanyakan. Itulah mengapa kita memahami mengapa dalam kasus Gibran-Prabowo, pihak DPP PDIP merasa perlu memberi arahan pada kader sekelas Gibran yang bagaimanapun notabene representasi dari Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H