nasionalisme kita sudah melewati fase satu abad, sejak dr. Soetomo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, RM. Soewardi Soerjaningrat, dan Dr. Douwes Dekker mendirikan organisasi bernama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Dari semangat mereka itulah, terpercik hasrat membangkitkan rasa dan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
KEBANGKITANSecara historis, seiring perjalanan waktu membuktikan semangat kebangkitan nasionalisme negeri ini telah mengalami fase-fase pasang surut. Dinamika ideologi, politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya, telah mengasah daya kohesivitas spirit nasionalisme di dalam jiwa bangsa kita.
Realitas sosial politik membuktikan spirit nasionalisme kita sudah cukup teruji. Langgengnya perjalanan satu abad sejak kebangkitan nasional dikumandangkan adalah bukti, ujian demi ujian yang mampu direkonstruksi dan dikelola dengan cukup baik. Kemajemukan dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi telah menjadi tantangan dalam menjaga dan mempertahankan semangat kebangsaan kita.
Saat ini kita perlu mengidentifikasi ancaman dan tantangan ke depan yang dihadapi bangsa kita. Bahkan, bila perlu melakukan kritik terhadap praktek-praktek semangat kebangsaan yang kini sedang terjadi. Sebab, sebagai sebuah paham, nasionalisme merupakan konsep yang kompleks yang bisa menjadi bahan perdebatan sekaligus kritik.
Sloganisasi Nasionalisme
Sudah banyak slogan-slogan berbau nasionalisme yang berserak di ranah publik kita saat ini. Hal yang lumrah tentunya, sebagai bangsa negara yang majemuk, slogan-slogan nasionalisme sangat penting sebagai perekat kebatinan masyarakat dengan bangsanya sendiri.
Banyak diantara slogan-slogan nasionalisme itu memberi inspirasi dan memberdayakan. Bahkan, tak sedikit slogan-slogan itu sebagian diantaranya menunjukkan ajakan bersikap inklusif dan juga menghormati perbedaan. Tujuannya tentu saja untuk "memberdayakan" spirit kebangsaan masyarakat agar tetap terjaga.
Hanya saja dalam perkembangannya fabrikasi slogan-slogan nasionalisme tertentu memberi makna sekaligus dampak berbeda-beda pada segolongan masyarakat, tergantung konteks dan audiensnya. Bahkan slogan-slogan nasionalisme bagi sebagian pihak dinilai ekstrim, mengintimidasi, dan eksklusif.
Dalam konteks tersebut, filsuf Jurgem Habermas mengkritisi nasionalisme sebagai bentuk dominasi bahkan penindasan yang justru menghalangi proses komunikasi dan terbentuknya saling pengertian di antara golongan masyarakat yang berbeda. Itulah mengapa dalam pandangannya slogan-slogan nasionalisme menciptakan rasa identitas dan kesetian palsu yang memecah belah dan mencegah golongan lain beremansipasi.
Butuh sikap bijak dalam menggaungkan slogan-slogan nasionalisme. Kecenderungan menjadikan slogan sebagai instrumen mengintimidasi pihak lain justru cenderung merusak tatanan kebangsaan yang diharapkan. Di tengah masyarakat yang majemuk dan multikultural seperti kita, slogan nasionalisme bukan milik sepihak, tapi harus menjadi milik bersama tanpa perlu mendiskreditkan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan politik.
Klaim sepihak dari sebuah slogan nasionalisme menggiring kita pada paham kebangsaan yang sempit. Merasa elemen masyarakat lain bukan bagian dari semangat kebangsaan yang diusungnya. Bahkan secara verbal, ada sikap superioritas yang "menindas" kebatinan kebangsaan kelompok lain. Ini akan menjadi hambatan integrasi sosial dan memperburuk kehidupan bermasyarakat.
Retorika Nasionalisme
Nilai-nilai kebangsaan begitu banyak diutarakan para elite politik, yang berkelindan dengan proses pencitraan yang dibangun demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Ini mengindikasikan paham nasionalisme hanya menjadi alat retorika tanpa memahami makna sesungguhnya.
Nilai-nilai nasionalisme mengalami deviasi pemahaman ketika sebatas retorika di depan layar kaca. Hanya dianggap sebagai kata-kata kosong yang bisa menjerumuskan masyarakat tidak memahami konsep nasionalisme secara benar. Terlebih ketika para elit berkuasa menunjukkan perilaku yang jauh panggang dari api sebagai pelayan masyarakat: mengobral janji manis (lips services), hukum berat sebelah, korupsi, nepotisme, kolusi, dan manipulasi, bahkan "menggadaikan" aset bangsa atas nama nasionalisme.
Dari konteks tersebut, bisa jadi kritik Rabindranath Tagore, penerima Nobel Perdamaian bidang Sastra tahun 1913, menemukan kebenarannya yang menilai nasionalisme malah hanya menjadi alat kepentingan pribadi yang terorganisir dari orang-orang yang paling tidak manusiawi dan paling tidak spiritual.
Di tengah keprihatinan kita akan makna dan konsep nasionalisme tersebut, saatnya kita berbenah merekonstruksi pemahaman dan aksi nasionalisme kita saat ini. Nasionalisme harus ditempatkan kembali pada tatanan nilai yang inklusif, sekaligus menghargai keragaman.
Nilai-nilai nasionalisme dipromosikan dengan rasa yang sehat didasarkan pada pemahaman dan penghargaan pada orang lain. Sebagaimana para founding father (bapak pendiri bangsa) yang bermusyawarah dan bermufakat merumuskan asa kebangsaan Indonesia dengan meleburkan ego politik mereka namun tetap menghargai paham nilai tokoh yang lain. Tidak ada yang mengucilkan dan merasa superior sesama mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H