Retorika Nasionalisme
Nilai-nilai kebangsaan begitu banyak diutarakan para elite politik, yang berkelindan dengan proses pencitraan yang dibangun demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Ini mengindikasikan paham nasionalisme hanya menjadi alat retorika tanpa memahami makna sesungguhnya.
Nilai-nilai nasionalisme mengalami deviasi pemahaman ketika sebatas retorika di depan layar kaca. Hanya dianggap sebagai kata-kata kosong yang bisa menjerumuskan masyarakat tidak memahami konsep nasionalisme secara benar. Terlebih ketika para elit berkuasa menunjukkan perilaku yang jauh panggang dari api sebagai pelayan masyarakat: mengobral janji manis (lips services), hukum berat sebelah, korupsi, nepotisme, kolusi, dan manipulasi, bahkan "menggadaikan" aset bangsa atas nama nasionalisme.
Dari konteks tersebut, bisa jadi kritik Rabindranath Tagore, penerima Nobel Perdamaian bidang Sastra tahun 1913, menemukan kebenarannya yang menilai nasionalisme malah hanya menjadi alat kepentingan pribadi yang terorganisir dari orang-orang yang paling tidak manusiawi dan paling tidak spiritual.
Di tengah keprihatinan kita akan makna dan konsep nasionalisme tersebut, saatnya kita berbenah merekonstruksi pemahaman dan aksi nasionalisme kita saat ini. Nasionalisme harus ditempatkan kembali pada tatanan nilai yang inklusif, sekaligus menghargai keragaman.
Nilai-nilai nasionalisme dipromosikan dengan rasa yang sehat didasarkan pada pemahaman dan penghargaan pada orang lain. Sebagaimana para founding father (bapak pendiri bangsa) yang bermusyawarah dan bermufakat merumuskan asa kebangsaan Indonesia dengan meleburkan ego politik mereka namun tetap menghargai paham nilai tokoh yang lain. Tidak ada yang mengucilkan dan merasa superior sesama mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H