Mohon tunggu...
I Ketut Budiasa
I Ketut Budiasa Mohon Tunggu... -

Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka atas "Statement" Eggi Sujana

5 Oktober 2017   10:53 Diperbarui: 7 Oktober 2017   08:14 2371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yth. Seluruh Anak Bangsa,

Surat ini sengaja tidak saya  tujukan spesifik kepada seseorang, melainkan kepada seluruh anak bangsa.  Biarlah isi surat ini dimaknai sesuai kecerdasan, wiweka dan kebeningan  hati masing-masing. Saat Vasudewa Krisna memasuki balairung Hastinapura untuk mengusahakan negosiasi damai antara Pandawa dan Kurawa, beberapa  orang memujinya sebagai duta perdamaian dan pasti bisa menyelesaikan  masalah yang membawa bangsa Bharata di ambang perang. Tetapi jawaban  Vasudewa Krisna ternyata berbeda. "Di Vrindavan, suara serulingku selalu dimaknai sebagai panggilan cinta oleh sapi2 disana. Setiap aku meniup  seruling, semua sapi berkumpul dan mendengarkan sebagai kidung kasih dan  mereka berbahagia karenanya. Tapi sekelompok keledai tidak  menganggapnya bermakna apa2". 

Seruan apapun yang kita buat, pada akhirnya akan berlabuh di kepala masing2 orang sehingga pemaknaannya  selalu tergantung dari kecerdasan dan kebeningan hati orang yang menerima. Bukankah karena itu seringkali agama justru memproduksi  barisan para teroris ?

Statement Eggi Sujana yang viral tentang  "hanya agama Islam yang sesuai sila pertama Pancasila" saya anggap  pernyataan serius dan memiliki implikasi luas, sehingga saya merasa  berkepentingan untuk menyampaikan tanggapan secara terbuka. Bahwa Eggi  Sujana percaya agama yang dianutnya sesuai sila pertama Pancasila, itu  hak beliau sesuai tafsir beliau atas ajaran kitab sucinya. Itu harus  dihormati. Tetapi menyatakan ajaran agama Hindu tidak sesuai dengan  Pancasila sila Pertama adalah penghinaan yang serius. Setidaknya bagi  saya pribadi, sebagai penganut ajaran Hindu.

Pertama. Sesanti  "Bhinneka Tunggal Ika" yang tertulis pada pita yang digenggam Lambang  Negara Republik Indonesia, Burung Garuda Pancasila, bukanlah buah karya  atau karangan para pendiri bangsa. 

Sesanti itu diambil dari Kekawin  Sutasoma mahakarya Mpu Tantular. Bunyi bait kekawin itu secara utuh  adalah "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" yang artinya  "Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua".  Siapakah yang dimaksud "berbeda-beda tetapi tunggal" itu ? Ia adalah  Budha dan Siwa. Dalam teologi Hindu, IA yang disebut Brahma, Wisnu,  Siwa, Rudra, Rama, Krisna, Budha adalah satu. Tidak ada yang kedua.  NamaNYA banyak sebanyak orang memberi nama, sebanyak pemujanya memberi  panggilan, tetapi IA sesungguhnya satu. Perlu juga dipertegas bahwa  sesanti "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa" yang menjadi satu  kesatuan Lambang Negara itu digubah oleh seorang Mpu. Bukan ustad, syeikh atau yang lainnya. Ini penting untuk menegaskan posisi ajaran  Hindu-Budha dalam Lambang Negara Republik Indonesia.

Kedua. Umat  Hindu berdoa sehari-hari dengan mantram Puja Tri Sandhya yang terdiri  dari 6 bait, diambil dari kitab suci Weda. Pada bait ke 2, diantaranya  berbunyi "Eko narayana na dwityo asti kascit", artinya "Tuhan itu hanya  satu, tiada yang kedua". Lalu mengapa ada begitu banyak nama, Brahma,  Wisnu, Siwa, Rudra, Agni dan ribuan nama lain ? Jawabannya ada pada pada  bait ke 3, berbunyi "Om Twam Siwah Twam Mahadewah, Iswarah Parameswara,  Brahma Wisnusca Rudrasca, Purusah Parikirtitah". Artinya "Ya Tuhan,  Brahman, Engkau disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma,  Wisnu dan juga Rudra. Engkau adalah asal mula dari segala yang ada".  Penganut Hindu berdoa 3 kali sehari mengulang-ulang mantram itu, sejak  mereka kecil. Bahwa Eggi Sujana tidak memahaminya, itu tidak berarti  ajaran Hindu adalah seperti yang ada dalam ketidakpahaman Eggi Sujana  itu. 

Ketiga. Konsep ketuhanan Hindu adalah Pantheisme, bahwa  Tuhan ada didalam dan diluar ciptaannya. Diluar, IA transenden,  melingkupi dan lebih besar dari keseluruhan yang ada. Ia membungkus  semuanya karena semua ada didalam DIA. Itulah yang dilambangkan dalam  Itihasa, ketika Vasudewa Krisna membuka mulutnya, seluruh semesta  terlihat disana, didalam mulut illahinya. 

Saat bersamaan, IA juga berada  didalam ciptaannya, Immanen. IA memenuhi setiap pori2 semesta tanpa ada  ruang yang kosong dari kehadirannya. Jadi "esa" nya Tuhan dalam Hindu tidaklah berarti IA sebatang kara, tinggal di langit dan duduk diatas  singgasana, kemudian dari sana dengan kemahakuasaannya menghukum yang  tidak percaya dan memberi hadiah bagi yang menyanjung2 namanya. Tuhan  Hindu bersifat spiritual, bukan individual. 

Yang individual adalah  manifestasinya, bentuk2 keberadaannya sesuai fungsinya dalam mengurus  semesta dengan segala isinya. Ketika mencipta IA disebut Brahma,  saktinya Dwi Saraswati, lambang pengetahuan karena penciptaan selalu  mensyaratkan adanya pengetahuan. Dalam manifestasinya sebagai pemelihara  IA menjadi Wisnu, saktinya Laksmi, atau Dewi Sri, lambang kesuburan  karena pemeliharaan mensyaratkan kesuburan dan kesejahteraan. 

Keempat. Weda sebagai otoritas tertinggi ajaran Hindu dan dipercaya  sebagai wahyu dari Tuhan, tegas menyatakan "banyak tetapi satu". Ini dinyatakan dalam banyak cloka (ayat) yang membentuk satu kesatuan  teologi Hindu. 

4a. EKAM EWA ADWITYAM BRAHMAN.
(Upanishad IV.2.1)
Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya.

4b. Yo nah pita janita yo nidhata,
dhanani veda bhuvanani visva,
yo devanam namadha eka eva,
tam samprasnam bhuvana yantyanya
(Rg Veda X. 83. 3).
Oh, Bapa kami, pencipta kami, pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa yang terjadi,
Dia hanyalah Esa belaka memikul nama bermacam-macam dewa.
Kepada Nyalah yang lain mencari-cari dengan bertanya-tanya.

4c. Indram mitram varunam
agnim ahur atho divyah
Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim
yarnam mata-risvanam ahuh
(Rg Veda 1.164.46).
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya,  yaitu Garutman yang bersayap elok, Satu Kebenaran itu, orang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisavan.

4d. Tad evagnis tad adityas
tad vayus tad u candramah,
tad eva sukra tad brahma
ta apan sa prajapatih
(Yajur Veda 32.1).
Agni adalah Itu, Aditya adalah Itu,
Vayu adalah Itu, Candrama adalah Itu,
Cahaya adalah Itu, Brahman adalah Itu,
Apah adalah Itu, Prajapatilah Ia.

Keseluruhan ayat-ayat itulah yang membentuk bangunan teologi Hindu,  ibarat ribuan bata yang membentuk sebuah rumah. Mungkin ada satu dua  bata yang terlihat berbeda, bila diambil satu dua biji seolah tidak  dapat dikenali sebagai bagian dari sebuah rumah. Namun begitu diletakkan  di tempatnya, maka keseluruhan bangunan akan nampak jelas --- sejelas  umat Hindu memahami ke-Esa-an Tuhan nya. 

Sekali lagi, ulasan ini  ditujukan kepada semua orang, sebagai jawaban atas statement Eggi  Sujana yang viral di media. Saya tidak memahami ajaran Kristen, tidak  mendalami ajaran Budha, tidak tertarik dengan ajaran Islam, sehingga  saya tidak memiliki kapasitas menilai ajaran2 tersebut. Yang saya  pahami, ada jutaan umat manusia, bahkan diantaranya milyaran, yang  menganut ajaran2 agama tersebut, dan saya percaya -- didorong oleh  ajaran agama saya -- bahwa mereka semua pantas mendapatkan rasa hormat  sebagaimana saya ingin keyakinan saya dihormati. Agama saya juga  mengajarkan bahwa agama itu adalah ageming hati, ibarat jalan yang  berbeda2 yang ditempuh sesuai kecenderungan dan karma masing2. Tuhan  dalam ajaran Hindu yang saya pahami, juga bukan sekelas kepala suku yang  melindungi anggota sukunya saja tetapi membenci dan memerangi kelompok  lain yang tidak bersedia bergabung kedalam sukunya. Dalam Bhagavad Gita,  Tuhan yang saya temukan ajarannya Maha Baik itu bersabda :

"samo 'ham sarva-bhutesu
na me dvesyo 'sti na priyah
ye bhajanti tu mam bhaktya
mayi te tesu chapy aham"
(Bhagwat Gita IX.29)

AKU adalah sama pada semua mahluk
BagiKU tidak ada mahluk yang terbenci atau yang tercinta
Tapi bagi mereka yang memujaKU dengan sepenuh hati
Maka mereka (akan menemukan diriKU) ada didalam mereka
Dan (menemukan diri mereka) ada didalamKU

Terakhir, saya percaya dengan kebaikan universal. Ialah kebaikan yang  sesuai dengan nurani kita sebagai manusia. Kebaikan universal ini bisa menyatukan semua agama bahkan hingga yang tidak beragama. Ajaran Hindu  menyebutnya Tat Twam Asi. Orang modern menyebutnya "the golden rule".  Yang lain menyebutnya empathy.

 Pada intinya, ajaran ini berkata  "perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan, atau jangan  perlakukan orang lain bila kamu tidak suka diperlakukan dengan cara yang  sama". Saya tidak suka dihina, maka saya tidak menghina, karena orang  lain juga pasti tidak suka. 

Jadi bila kita tidak suka orang lain  menafsirkan ajaran agama kita tanpa pengetahuan, kita juga semestinya  tidak menafsirkan ajaran agama orang lain dengan pengetahuan yang  terbatas. Itulah yang disebut empathy. The golden rule. Weda menyebutnya  Tat Twam Asi. Empathy ini, the golden rule ini, tat twam asi ini,  adalah ciri keadaban kita, anugerah yang diberikan kepada kita, manusia,  yang membedakan kita dari hewan. 

Oleh karenanya, selain menjadi  religius dengan meyakini ajaran agama kita masing2, kita juga perlu  tetap menjadi manusia, dengan berpegang, bercermin, bersuluh pada konsep  empathy, the golden rule dan tat twam asi itu. 

 Purnama Kapat, Cibubur 5/10/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun