militer. Meneropong Mesir, tak bisa dilepaskan dengan peran militer yang begitu dominan. Hal ini bisa dilihat dari penetapan tanggal 23 Juli sebagai Hari Nasional “kemerdekaan” Mesir. Sama seperti Indonesia yang memperingati 17 Agustus. Padahal kemerdekaan Mesir tanggal 28 Januari 1922 setelah ada pengakuan dan pemberian dari kolonial Inggris. Namun, rakyat Mesir menjadikan peringatan 23 Juli sebagai hari keramat. Sebagai peringatan tonggak kemerdekaan.
Tanggal 23 Juli 1952, sebagai hari bersejarah bagi Mesir dengan peralihan bentuk negara Kerajaan menjadi Republik. Siapa pemrakarsanya? Militer !. Saat itu Kolonel Gamal Abdul Naser melakukan kudeta militer dengan menumbangkan Raja Farouk I. Setelahnya, “Gerakan Perwira Bebas” menghapus konstitusi monarki untuk mengubah bentuk negara kerajaan menjadi republik. Tidak mengherankan jika militer menganggap dirinya sebagai “pemilik” republik Mesir. Berbeda halnya dengan Indonesia, yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Supremasi sipil lebih dominan. Sementara itu, TNI belum terbetuk dan masih berbaur dengan laskar sipil dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Itupun baru dibentuk tanggal 5 Oktober 1945, setelah proklamasi kemerdekaan.
Dominasi militer dan tradisi kudeta di Mesir sudah dimulai sejak 23 Juli. Anehnya, tanggal 23 Juli sebagai hari “kudeta militer” diperingati hingga saat ini sebagai tonggak sejarah. Jendral Muhammad Naguib dilantik menjadi presiden pertama pada tahun 1953. Tapi kemudian tumbang lagi dengan kudeta, yang dilakukan oleh anak buahnya sendiri: Kolonel Gamal Abdul Naser. Sekali lagi militer menentukan kekuasaan di negeri Piramida.
Sejak “kemerdekaan” tahun 1952, Mesir tidak terlepas dari peran militer hingga Hosni Mubarak tumbang pada tahun 2010. Doktrin militer dimanapun berada selalu mengacu kepada semangat Nasionalisme. Semangat ini pula yang terus dikobarkan oleh Nasser. Dengan doktrin itu juga, Mesir tidak putus-putus diliputi perang dan konflik. Terutama dengan agresor luar seperti Perancis, Inggris dan Israel. Dengan kekuasaan yang dimiliki dan selalu berada dalam kancah peperangan, paham nasionalisme makin mengakar. Nasionalisme bagi Militer Mesir, sudah menjadi pandangan hidup (weltanschaung) yang dijelmakan dalam dasar negara yang tidak bisa diganggu gugat. Upaya untuk mengubah paham Nasionalisme ini, dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Dan harus diselesaikan dengan senjata. Itulah yang menjadi alasan utama, pertikaian antara militer dan Ikhwanul Muslimin tidak pernah selesai. Alasannya: ideologi dasar negara dan perebutan kuasa sipil-militer.
Hal ini bisa ditelisik dari sejarahnya. Saat semangat nasionalisme begitu berkobar yang dipompa oleh Nasser, saat yang bersamaan penangkapan, penahanan, pengusiran aktivis Ikhwanul Muslimin, mengalami puncaknya. Karena Ikhwanul Muslimin dianggap ingin merongrong ideologi dasar negara, yakni Nasionalisme (model tentara) dan menggantinya dengan asas agama. Walaupun ada rumor mengatakan bahwa Nasser adalah anggota IM yang direkrut langsung oleh Hasan al-Banna. Tetapi, ketika Nasser berkuasa, moralitas militer dengan paham nasionalisme itulah yang mengubahnya. Di bawah pemerintahan Nasser, ribuan tokoh dan anggota Ikhwan ditangkap , dipenjara, dihukum mati, dan sebagian diusir dari Mesir.
Atas wafatnya Gamal Abdul Nasser pada 28 September 1970, Anwar Sadat menggantikannya. Tetap militer yang berkuasa. Anwar Sadat memimpin Mesir selama 11 tahun. Akhirnya Saddat tewas terbunuh yang juga dilakukan oleh militer. Penggantinya, Hosni Mubarak, juga seorang militer.Hosni Mubarak kemudian tumbang dengan kudeta yang juga dipimpin oleh militer. Seperti halnya pendahulunya, Gamal Abdul Naser yang melakukan kudeta atas dukungan massa, demikian de javu terjadi pada penggulingan Hosni Mubarak. Seperti halnya Morsi, Hosni Mubarak pun mendapat ultimatum dari militer untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Dominasi militer semakin bertambah kuat di masa pemerintahan Anwar Sadat yang diteruskan pada pemerintahan Hosni Mubarak. Anwar sadat memberlakukan pemerintahan darurat Mesir yang dikuasai oleh Militer, Supreme Council of the Armed Forces (SCAF). Kekuasaan militer menjadi sangat mutlak, dengan hadirnya Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata. Di tangan Anwar Sadat, Militer menjadi Angkatan Bersenjata terbesar di benua Afrika, dan menempati urutan ke10 tebesar di dunia.
Peralihan kekuasan melalui Pemilu pada tahun 2012, menandai kekalahan supremasi militer atas sipil. Simbol-simbol militer yang ditandai dengan Hosni Mubarak dan calon Presiden Marsekal Ahmed Shafik dapat dikalahkan oleh Morsi yang mewakili masyarakat sipil. Namun pada akhirnya, tumbang juga oleh kudeta militer.
Pertentangan antara IM dan Militer sudah terjadi sejak Pemilu dilaksanakan. Saat itu Militer (pernah) menolak hasil pemilihan parlemen yang dimenangkan oleh IM. Tidak berhenti, dan terus berlanjut. Perang dingin antara IM dan Militer makin memanas pada Agustus 2012. Seperti peristiwa ejekan Muhyiddin Zaith (sekretaris Mursyid Ikhwanul Muslimin) kepada militer dengan mengatakan, “Tentara Mesir dipimpin oleh tikus, dan militer membutuhkan pemimpin”. Serangan itu dibalas pedas oleh pihak militer: “Ikhwanul Musliminlah yang tikus, karena mereka selalu bergerak dalam kegelapan dan di bawah tanah. Sejarah mereka penuh dengan darah dan pembunuhan terhadap warga Mesir yang tidak berdosa. Di saat yang sama militer senantisa membela tanah Mesir, baik saat damai maupun perang, serta senantiasa menjaga rakyat Mesir dan keamanan negara”. Saat itu pimpinan Militer telah memperingatkan IM agar segera mengambil sikap untuk menghentikan segala lelucon semacam ini. Militer mengatakan bahwa seluruh anggota militer tidak dapat menerima penghinaan. Pihak Militer juga mengatakan bahwa kesabarannya sudah hampir habis, dan akan melakukan aksi balasan yang lebih pedih. Pihaknya juga telah mengetahui bahwa tujuan dari perang urat syaraf dan pelecehan terhadap instutusi militer saat itu adalah untuk menggoncang dan menjatuhkan institusi militer. Sekelompok pengacara dan sipil melaporkan dan meminta kepada Kejaksaan Militer untuk melakukan investigasi terhadap Muhyiddin Zaith karena pernyataannya dapat membahayakan stabilitas keamanan nasional dan merendahkan institusi militer.
Namun hal ini tidak digubrik oleh Morsi. Bahkan makin memperuncing situasi dengan memberhentikan Panglima Militer yang juga Menteri Pertahanan, Field Marshall Hussein Tantawi. Selain itu, Kepala staf angkatan bersenjata, Sami Anan dipensiunkan. Selanjutnya memerintahkan kepala intelijen, Muraf Muwafi, untuk pensiun dalam perombakan jajaran militer dan intelijen.
Pihak militer mengatakan tindakan tersebut bertujuan mengakhiri kekuasaan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata. Presiden juga membatalkan dokumen konstitusional yang memberikan kekuasaan legislatif dan hak istimewa lainnya pada militer. Di luar parlemen kelompok IM terus melakukan desakan kepada Pemerintah Morsi untuk mengakhiri kekuasaan militer. Kekuatan sipil di Mesir, yang digalang IM bertekad terus melakukan protes, dan menentang kekuasaan militer, dan tidak mau memberikan konsesi politik kepada militer.
Dari rentetan sejarah di atas, pendapat saya atas tumbangnya Morsi oleh militer, karena beberapa penyebab (dalam relasi sipil militer):
1.Morsi tetap dalam posisi sebagai bagian dari IM, yang dalam sejarahnya selalu berhadap-hadapan dengan militer. Dengan tetap membawa misi dan kepentingan IM kedalam pemerintahan tanpa mempertimbangkan militer yang merasa sebagai “pemilik” republik Mesir.
2.Pertentang ideologis antara militer dan IM, makin menjadi saat Morsi ingin memaksakan pergantian konstitusi baru dengan mengusur paham nasionalisme dan menggantinya dengan asas Agama. Luka lama, sejak pemerintahan Naser diungkit kembali oleh Morsi. Bagi militer, dasar negara dengan ideologi Nasionalisme adalah harga mati, tidak dapat diganti oleh pemerintah yang memenangkan Pemilu sekalipun atau refrendum.
3.Menghadapi musuh bebuyutan ini (Militer), Morsi tidak berupaya menggalang front persatuan nasional, yang menghimpun semua kekuatan masyarakat sipil tak terkecuali kaum oposisi. Justru sebaliknya, Militer yang dapat “memanfaatkan” barisan sakit hati dari kelompok sipil untuk menyerang Morsi.
4.Kalahnya dominasi militer dengan tumbangnya Hosni Mubarak dan tidak terpilihnya Ahmed Shafik berakibat terhempasnya kubu militer dari kekuasaan. Namun, aspek psikologis atas kekalahan itu, makin diperparah dengan kebijakan politik Morsi yang makin menyudutkan pihak militer. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden dan merombak struktur militer.
5.Sikap intoleran Morsi dengan melakukan pembiaran atas terjadinya kerusuhan dan instabilitas memancing Militer untuk turut berperan. Sebagaimana diketahui, sebagai “pemilik” republik, Militer memiliki doktrin penyelamatan negara jika dipandang dalam situasi yang tidak stabil. Militer beranggapan pemerintahan sipil telah gagal menjaga stabilitas nasional.
Pada umumnya, militer di suatu negara berkembang (dalam masa transisi) tidak akan pernah mau tunduk dengan pemerintahan sipil. Bilapun terjadi, penundukan tersebut tidak tanpa reserve, terlebih Mesir yang dibangun oleh peran Militer yang begitu dominan. Bagi militer, demokrasi bukanlah tujuan bernegara, tetapi hanya merupakan cara untuk mencapai tujuan, dengan instrumen seperti pemilu dan sebagainya. Tujuan bernegara adalah untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan berkeadaban, serta tetap tegaknya kedaulatan dan integritas negara. Mana kala hal ini terancam, dan Pemerintahan sipil dianggap tidak mampu mengatasinya., maka militer – umumnya – dengan panggilan jiwa patriotisme dan kesejarahan – akan turun dan menyelamatkan negara. Fenomena itulah yang saat ini sedang terjadi di Mesir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H