Kehidupan yang menempel pada KAI, menjadikan gerbong KA sebagai wahana usaha, sebagai pasar tumpah untuk menjajakan segala kebutuhan rumah tangga. Tanpa disadari pasar tumpah ini menjadikan 'down-grade' layanan KAI. Atau  menjadikan produk/jasa  inferior atau tidak bermartabat atau rendahan. Secara definisi barang/jasa inferior adalah barang yang permintaannya menurun saat pendapatan masyarakat meningkat.Â
Pada barang inferior berlaku paradok Giffen, sebuah konsep yang umum digunakan dalam ekonomi, merujuk pada barang yang semakin banyak dikonsumsi orang seiring dengan kenaikan harga. Â
Paradok ini ditemukan Robert Giffen, ilmuwan Inggris pada abad ke-19, yang intinya permintaan terhadap barang meningkat ketika harganya naik, melanggar hukum permintaan.
Melalui segala inovasi layanan PT KAI bukan lagi inferior atau terhindar dari paradok Giffen, terbukti dari terus meningkatnya jumlah penumpang pengguna kereta api. Data BPS menunjukkan, jika pada tahun 2006 PT KAI melayani 159.419 ribu penumpang , maka pada tahun 2023 meningkat menjadi 371.538 ribu. Atau naik sebesar 133 persen.
Bagi gen-Z, tidak mudah menemukan visual layanan PT KAI tahun 200-an dan sebelumnya. Visual layanan kereta api semacam itu, saat ini hanya ada di India Banglades. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Direkut PT KAI Didiek Hartantyo, dan dua pendahulunya dapat dianggap sebagai revolusi.
Namun, belum saatnya untuk berhenti inovasi. Sepanjang yang dapat diamati di stasiun Tugu Yogyakarta, dan utamanya di stasiun Lempuyangan, yang sangat dibutuhkan adalah angkutan massal yang berkelas menuju ke stasiun atau feeder.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI