Atas pertanyaan, bagaimana menurutmu KAI bisa terus berinovasi untuk masa depan, baby boomer merepon bukanlah inovasi tetapi apa yang telah dicapai KAI saat ini sebuah revolusi, atau perubahan mendasar dalam tempo singkat. Begini latar belakangnya.
Belum cukup lama, pada tahun 2000-an dan sebelumnya, atau masih tercatat dalam memori ketika diatas kereta api nyawa diberi nilai setara penutup kepala alias topi.
Alkisah. Pada masa itu lazim, saking padatnya penumpang atau semua gerbong terisi penuh, hanya tersisa tempat diatas atas gerbong, disitulah menumpang. Karena jarak antara atas gerbong dengan kawat listrik sangat rendah, sekitar 50 cm, maka posisi penumpang di atap 'tiarap'.
Suatu kali, karena berusaha mempertahankan topinya yang terbawa angin, si penumpang bangkit dan seketika tersambar kawat beraliran listrik (pantograp). Bahwa sesungguhnya, dalam Commuter Line terdapat Commuter life.
Secara kamus, kehidupan komuter dapat merujuk pada gaya hidup seseorang yang secara teratur bepergian antara rumah dan tempat kerja. Sehingga, dalam komuter ada kehidupan yang harus dipertahankan.
Committed life
Secara teori mudah diungkapkan bahwa pada moda transportasi kereta api permintaan (demand) lebih besar dari penyediaan (supply). Atau lebih mudah lagi disebut mis-manajemen. Namun, tidak sesederhana itu, karena ada kehidupan yang menempel operasional kereta api.
Perjalanan kereta api, dianggap ada celah kehidupan, untuk menempel bak benalu. Benalu, karena mereka itu tidak terkait dengan kelancaran dan kenyamanan bepergian menumpang kereta api. Mereka pedagang asongan, tukang parkir, preman, pemulung, tukang copet dan jambret.
Celah hidup itu terkadang sangat sempit. Kejadina di KA jarak jauh penumpang berjubal sampai pintu, penumpang terpaksa  masuk lewat jendela kereta, atau setidaknya barang bawaan dulu lolos lewat jendela. Jendela KA yang terbuka ini dijadikan celah kehidupan copet dan jambret mengambil barang. Dan itu terjadi ditengah keramaian. Jangan ditanyakan bagaimana kerja petugas keamanan.
Komitmen menjaga kehidupan kadang sangatlah keras, sekeras suara pedagang asongan di stasiun Purwokerto, yang melengking 'lanting, lanting, lanting'.
Kehidupan yang menempel pada KAI, menjadikan gerbong KA sebagai wahana usaha, sebagai pasar tumpah untuk menjajakan segala kebutuhan rumah tangga. Tanpa disadari pasar tumpah ini menjadikan 'down-grade' layanan KAI. Atau  menjadikan produk/jasa  inferior atau tidak bermartabat atau rendahan. Secara definisi barang/jasa inferior adalah barang yang permintaannya menurun saat pendapatan masyarakat meningkat.Â
Pada barang inferior berlaku paradok Giffen, sebuah konsep yang umum digunakan dalam ekonomi, merujuk pada barang yang semakin banyak dikonsumsi orang seiring dengan kenaikan harga. Â
Paradok ini ditemukan Robert Giffen, ilmuwan Inggris pada abad ke-19, yang intinya permintaan terhadap barang meningkat ketika harganya naik, melanggar hukum permintaan.
Melalui segala inovasi layanan PT KAI bukan lagi inferior atau terhindar dari paradok Giffen, terbukti dari terus meningkatnya jumlah penumpang pengguna kereta api. Data BPS menunjukkan, jika pada tahun 2006 PT KAI melayani 159.419 ribu penumpang , maka pada tahun 2023 meningkat menjadi 371.538 ribu. Atau naik sebesar 133 persen.
Bagi gen-Z, tidak mudah menemukan visual layanan PT KAI tahun 200-an dan sebelumnya. Visual layanan kereta api semacam itu, saat ini hanya ada di India Banglades. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Direkut PT KAI Didiek Hartantyo, dan dua pendahulunya dapat dianggap sebagai revolusi.
Namun, belum saatnya untuk berhenti inovasi. Sepanjang yang dapat diamati di stasiun Tugu Yogyakarta, dan utamanya di stasiun Lempuyangan, yang sangat dibutuhkan adalah angkutan massal yang berkelas menuju ke stasiun atau feeder.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H