Mohon tunggu...
Budiman Sukma
Budiman Sukma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Takut terperangkap alienasi dan hanya berakhir di keranjang belanja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ironi Anak dan Orang Tua

3 Agustus 2015   00:31 Diperbarui: 3 Agustus 2015   07:20 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada yang tau persis, bahkan dirinya sendiri. Telah berapa puluh tahun sejak terakhir kali mereka memakai pakaian baru atau sekedar menikmati hidangan warung kaki lima, mereka berdua, kesulitan mengenang terakhir kali menikmati matahari terbit dan terbenam di luar rumah, bukan karena ingatan telah menggerus sejarah hidupnya. Bukan.

 

Sungguh, hanya tuhan yang maha melihat yang menyadari bahwa mereka berdua tak lagi peduli tampil gagah dan anggun. Dimata manusia, tampaknya mereka hendak menepi dari hiruk pikuk dunia, karena ia senang bergelut dengan tv dan radio tua dirumahnya, semua orang menduga mereka tidak suka menikmati hidangan yang tak di masak selain di dapurnya sendiri. Padahal bukan itu. 

 

Mereka melakukan itu karena ia tahu, segalanya butuh uang. Tak lagi tersedia apapun di permukaan bumi ini yang tak membutuhkan nilai tukar, materi adalah raja. Dengan kesadaran ini, mereka tidak lagi peduli dengan keranjang belanja, seolah-olah bahagia dengan belanja adalah hal terakhir yang harus dilakukan di atas dunia.

 

Jangan salah, mereka bukan hidup melarat, bukan pula karena mereka tak berdaya beli. Sebab, jutaan kilometer telah ia tempuh, berpuluh tahun mereka membanting tulang, mereka secara sadar telah melawan kelemahan raga untuk menghasilkan upah. Dengan uang yang dihasilkan, mereka bahkan sanggup membeli apapun yang mereka mau.

 

Lalu mengapa ia hidup begitu menyedihkan? Jawabannya sederhana, karena mereka adalah orang tua. Mereka adalah pasangan kekasih yang memilih hidup mulia, seorang ayah dan ibu untuk anak-anak yang mereka lahirkan, besarkan, dan doakan sepanjang jalan.

 

Seorang lelaki jika telah menjadi ayah, tak lagi peduli pada apakah ia akan nampak gagah. Jika wanita telah menjadi ibu, tak lagi peduli apakah ia akan nampak cantik. Bukan karena itu tidak penting, tapi ia takut pada seluruh hari yang terbentang di hadapan mereka, jika anak-anaknya tidak sarapan dengan nikmat, jika anak-anaknya tidak menggunakan pakaian layak seperti seluruh teman-teman mereka, ia takut jika buah hati mereka mengeluh tidak bisa bepergian jika tidak menumpang belas kasih orang lain. 

 

Sejak seorang anak membutuhkan susu, makanan, pakaian, mainan, sekolah, perguruan tinggi, sejak itu pula mereka berdua menahan pandangan dari dunia yang menawarkan gegap gempita materialisme.

 

Kedua orang tua, adalah Tuhan di dunia. Menjaga kita dari rasa malu dan ketakutan akan dunia. Ayah dan ibu berkorban setiap detik, tidak akan berhenti mereka melakukan itu, bahkan jika mereka sedang tertidur dalam kelelahan.

 

Tak ada satupun dari mereka yang dengan sengaja nampak miskin di depan anak-anaknya, mereka akan nampak kaya raya. Bukan karena takut nampak memalukan, tapi mereka akan bergetar saat kita mulai mengkhawatirkan mereka. seluruh perhiasan duniawi yang melekat pada kita, yang dengannya kita berjalan bangga di atas bumi adalah tetesan keringat yang melelahkan, sementara mereka cukup dengan berbahagia dengan tingkah menggemaskan kita. Dan bodoh kita bahkan tidak menyadarinya. Kita kerus dan habiskan begitu saja.

 

Mari kita bertaruh, siapa diantara mereka yang menikmati makanan lebih banyak dan lebih nikmat dari anak-anaknya? Siapa diantara mereka yang menggunakan pakaian dan perhiasan yang lebih indah dari anak-anaknya? Siapa diantara mereka yang nampak lebih anggun dan gagah ketimbang anak-anaknya. Saya bertaruh, tidak ada orang tua yang sanggup memilih jalan itu.

 

Lalu, siapakah diantara kita, yang selalu meminta lebih? Siapakah yang tak sanggup hidup jika tidak memiliki pakaian yang lebih indah dari teman-teman kita, siapakah yang hidup berlebihan dan memabukkan? Siapakah yang begitu bersemangat di depan keranjang belanja, yah siapa lagi, kitalah anak-anak yang hidup di atas mimpi dan kerja keras orang tua. 

 

Kita memang tidak salah, kadang kita hanya terlambat menyadarinya, lagipula orang tua memang wajib memikul itu. Tapi apakah kita pernah khawatir betapa keras mereka mengusahakan agar kita hidup bahagia tanpa beban sedikitpun, apakah kita pernah sekedar berfikir sejauh mana mereka menghindarkan kita dari kekhawatiran akan rasa lapar dan hidup tak berkecukupan? Sungguh!

 

Orang tua adalah manusia biasa yang melampaui keterbatasan untuk anak-anak mereka. Mereka mendorong hidup pada batas yang tak masuk akal untuk membahagiakan anak-anak mereka. 

 

Ironisnya, kita berbahagia, bersenang-senang penuh tawa, menghabiskan tenaga untuk kesenangan pribadi yang penuh ilusif, dengan barang mewah, dengan kisah percintaan remaja yang tolol, dengan tempat-tempat mejeng yang penuh kepulan asap, dengan mainan mahal penuh perawatan, dengan perhatian lebih pada kulit dan wajah yang berjerawat, kita hidup di atas dunia kelas satu. Bersamaan dengan itu, kedua orang tua kita, sepasang kekasih itu tengah berunding di atas tempat tidur, khawatir apakah anak-anak mereka akan cukup merasa cukup.

 

Seharusnya, kita perlu menjawab tanya, sudahkah kita membahagiakan mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun