Mohon tunggu...
Budiman Prawiroatmojo
Budiman Prawiroatmojo Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA

Menang tanpo ngasorake, ngluruk tanpo bolo, sugih tanpo bondo, lan sakti tanpo aji

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi untuk Reformasi

27 April 2020   01:22 Diperbarui: 27 April 2020   01:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak remaja, saya dibiasakan oleh orang tua dan lingkungan sekitar untuk kritis terhadap suatu persoalan. Jika kita flashback beberapa peristiwa kebelakang mulai dari skandal korupsi, money politik, isu penuntasan pelanggaran HAM, permainan SARA, penghapusan UN, peristiwa pemilu dan pilpres yang sempat menimbulkan demonstrasi, isu radikalisme, hingga terakhir turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah akibat isu RKUHP, omnibus law, revisi UU KPK, dan lain sebagainya.

Pandangan masyarakat pun beragam, ada yang kritis pada pemerintah, ada yang mendukung pemerintah, ada yang tidak peduli pada perpolitikan, hingga banyak masyarakat yang percaya pada informasi palsu/hoax. Belakangan ini juga kerap muncul istilah buzzer di media sosial. 

Saya pribadi dan mungkin banyak orang merasa kecewa. Ditengah optimisme negeri ini untuk maju menuju Indonesia emas 2045, nampaknya banyak persoalan-persoalan sederhana yang akhirnya menjadi rumit dan krusial hingga menimbulkan protes yang begitu besar. 

Ketika bangsa lain sibuk menata revolusi industri 4.0, bangsa kita harus berhadapan dengan intoleransi, mental korupsi, teror berlandaskan agama yang sampai saat ini saya tidak mengerti alasannya. Opini publik diputar-putar yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar dan sebagainya.

Lantas saya berpikir, dari mana asal muasal ketidakteraturan masyarakat ini hingga akhirnya perhatian saya tertuju pada dua bidang, yaitu politik dan pendidikan. Saya takjub ketika presiden menunjuk menteri muda, Mas Nadiem Makarim untuk menduduki posisi Mendikbud. 12 tahun sejak saya menganyam pendidikan, akhirnya saya merasakan perubahan besar sistem pendidikan meskipun perlahan tapi pasti. 

Gebrakannya mengganti ujian nasional membuat semua orang kembali membicarakan pentingnya pendidikan hingga akhirnya kita sadar, bahwa kodrat terpenting ilmu pengetahuan adalah mereka yang dapat memanfaatkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan literasi, numerasi, dan karakter sebagai dasarnya.

Kembali kepada masalah hoax di tanah air, saya rasa dasar utamanya adalah literasi. ketika orang tidak membaca keseluruhan informasi dan diperparah dengan penggiringan opini serta provokasi, timbulah kelompok besar yang dapat menciptakan perpecahan. saya mengatakan demikian bukan berarti saya sepenuhnya mendukung pemerintah, tetapi lebih kepada sejauh mana pemahaman kita mengenai suatu informasi sebelum kemudian kita mengutarakan pendapat. 

Saya melihat betapa menggebu-gebunya Pak Yasonna saat menjelaskan RKUHP yang dalam berbagai sumber di internet ketika saya mencari tahu pasal karet bahwa yang tertera hanya ayat 1 nya saja, sementara ketika dibaca draft secara lengkap ada penjelasan yang masuk akal pada ayat selanjutnya. 

Selain itu, sistem pendidikan dengan banyaknya mata pelajaran, banyaknya tugas, dan lain-lain justru tidak berbanding lurus dengan angka pengangguran akibat banyaknya SDM yang tidak memenuhi kualifikasi pasar tenaga kerja. 

Selanjutnya pada bidang politik yang berkaitan erat dengan korupsi. Terlepas dari pengawasan yang lemah, mental integritas yang buruk, dan sekian banyak alasan logis lainnya, sadarkah kita bahwa sistem pemilu lah yang justru membuka celah korupsi, gratifikasi, kolusi, nepotisme, dan lain sebagainya. 

Adakah biaya maksimum untuk seorang calon pejabat dalam berkampanye? Sampai saat ini, hanya ada batasan sumbangan lembaga maupun perorangan saja. Bayangkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa semakin banyak dana kampanye yang dikeluarkan, maka semakin besar peluang calon tersebut untuk menang.

Saya mencoba memposisikan diri sebagai pejabat negara, anggaplah menteri. Saya paham sulit rasanya mereformasi sistem yang harus selalu berjalan dan tidak bisa berhenti sama sekali. Sementara, sistem yang ada ingin kita rombak besar-besaran, ingin kita susun ulang, ingin kita reorganisasi total sesuai dengan kaidah yang seharusnya, katakanlah sistem pemilu dan sistem pendidikan. 

Saya berpendapat bahwa sistem pendidikan sulit untuk kita reorganisasi total karena sistem tersebut harus terus berjalan. Tidak mungkin ada siswa yang jeda tidak sekolah, guru tidak mendapat menghasilan karena reformasi sistem. Sama halnya seperti pemilu dan pemerintahan, semuanya harus terus berjalan apapun yang terjadi sehingga keduanya hanya diperbaiki / disempurnakan secara perlahan-lahan.

Hingga akhir 2019, kita mendengar kabar bahwa adanya virus Corona di Cina yang sampai saat ini menggemparkan dunia. Saya sempat menyayangkan ketika banyak pihak yang seolah meremehkan penyebaran virus ini di awal tahun 2020 sampai akhirnya negeri kita ikut terpapar. 

Kalau saja kita lebih cekatan menyiapkan plan di awal dan berbagai protokol seandainya virus corona masuk ke Indonesia, mungkin tidak akan seperti sekarang ini, ucap saya setiap hari dalam batin ketika melihat konferensi pers di kantor BNPB. 

Saya paham bahwa mengambil keputusan ditengah pandemi ini bukan perkara mudah, apalagi ketika melihat wawancara Najwa dengan Presiden yang berdasarkan argumennya sangat mempertimbangkan secara matang meski ada beberapa anggota pejabatnya yang bersikap egosektoral. 

Kalau saja saat itu tidak diremehkan, mungkin pemerintah akan lebih memiliki power untuk mengambil tindakan tergas terhadap masyarakat yang masih membandel sekarang ini. Akan tetapi sudahlah, kita kesampingkan penyesalan itu. Sekarang waktunya kita untuk bahu membahu untuk membebaskan negeri ini dari pandemi.

Kembali kepada judul saya, selain dari sisi pandang kesehatan, adanya wabah ini harus dimanfaatkan untuk mereorganisasi ulang, merevisi, menyusun ulang tata kelola di semua bidang, terutama pendidikan yang saat ini sedang dalam masa "istirahat" sehingga ketika pandemi ini berakhir, negara kita sudah memiliki grand plan dan protokol dalam semua bidang, perbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu agar Indonesia dapat betul-betul menuju Indonesia Emas 2045 dan tidak hanya sekedar angan-angan

Saya juga tergelitik dengan #reformasidikorupsi pada 2019 lalu, jika memang niat pemerintah baik untuk memperbaiki hukum dan tata kelola di berbagai bidang, buka akses publik dan mahasiswa mengenai draft yang disusun. berikan kesempatan kepada publik selama pandemi ini untuk membaca, mengkritisi, dan memberi masukan mengenai draft rancangan kebijakan yang sudah pemerintah susun dengan sebutan omnibus law itu sehingga publik tidak lagi termakan hoax yang tersebar di berbagai sosial media dan tidak lagi terprovokasi oleh informasi yang sepotong-sepotong.

Kesimpulannya, selain serius dalam menyelesaikan pandemi ini, sembari kita bersama menyusun ulang tata kelola negara ini sehingga ketika pandemi ini selesai, kita bisa segera bangkit kembali. Hormat saya untuk tenaga medis, kalian adalah pejuang yang luar biasa, hormat saya untuk pejabat yang betul-betul serius menghadapi pandemi ini, dan hormat saya untuk seluruh masyarakat yang betul-betul nurut #dirumahaja untuk meredam pandemi ini. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun