Sejak remaja, saya dibiasakan oleh orang tua dan lingkungan sekitar untuk kritis terhadap suatu persoalan. Jika kita flashback beberapa peristiwa kebelakang mulai dari skandal korupsi, money politik, isu penuntasan pelanggaran HAM, permainan SARA, penghapusan UN, peristiwa pemilu dan pilpres yang sempat menimbulkan demonstrasi, isu radikalisme, hingga terakhir turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah akibat isu RKUHP, omnibus law, revisi UU KPK, dan lain sebagainya.
Pandangan masyarakat pun beragam, ada yang kritis pada pemerintah, ada yang mendukung pemerintah, ada yang tidak peduli pada perpolitikan, hingga banyak masyarakat yang percaya pada informasi palsu/hoax. Belakangan ini juga kerap muncul istilah buzzer di media sosial.Â
Saya pribadi dan mungkin banyak orang merasa kecewa. Ditengah optimisme negeri ini untuk maju menuju Indonesia emas 2045, nampaknya banyak persoalan-persoalan sederhana yang akhirnya menjadi rumit dan krusial hingga menimbulkan protes yang begitu besar.Â
Ketika bangsa lain sibuk menata revolusi industri 4.0, bangsa kita harus berhadapan dengan intoleransi, mental korupsi, teror berlandaskan agama yang sampai saat ini saya tidak mengerti alasannya. Opini publik diputar-putar yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar dan sebagainya.
Lantas saya berpikir, dari mana asal muasal ketidakteraturan masyarakat ini hingga akhirnya perhatian saya tertuju pada dua bidang, yaitu politik dan pendidikan. Saya takjub ketika presiden menunjuk menteri muda, Mas Nadiem Makarim untuk menduduki posisi Mendikbud. 12 tahun sejak saya menganyam pendidikan, akhirnya saya merasakan perubahan besar sistem pendidikan meskipun perlahan tapi pasti.Â
Gebrakannya mengganti ujian nasional membuat semua orang kembali membicarakan pentingnya pendidikan hingga akhirnya kita sadar, bahwa kodrat terpenting ilmu pengetahuan adalah mereka yang dapat memanfaatkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan literasi, numerasi, dan karakter sebagai dasarnya.
Kembali kepada masalah hoax di tanah air, saya rasa dasar utamanya adalah literasi. ketika orang tidak membaca keseluruhan informasi dan diperparah dengan penggiringan opini serta provokasi, timbulah kelompok besar yang dapat menciptakan perpecahan. saya mengatakan demikian bukan berarti saya sepenuhnya mendukung pemerintah, tetapi lebih kepada sejauh mana pemahaman kita mengenai suatu informasi sebelum kemudian kita mengutarakan pendapat.Â
Saya melihat betapa menggebu-gebunya Pak Yasonna saat menjelaskan RKUHP yang dalam berbagai sumber di internet ketika saya mencari tahu pasal karet bahwa yang tertera hanya ayat 1 nya saja, sementara ketika dibaca draft secara lengkap ada penjelasan yang masuk akal pada ayat selanjutnya.Â
Selain itu, sistem pendidikan dengan banyaknya mata pelajaran, banyaknya tugas, dan lain-lain justru tidak berbanding lurus dengan angka pengangguran akibat banyaknya SDM yang tidak memenuhi kualifikasi pasar tenaga kerja.Â
Selanjutnya pada bidang politik yang berkaitan erat dengan korupsi. Terlepas dari pengawasan yang lemah, mental integritas yang buruk, dan sekian banyak alasan logis lainnya, sadarkah kita bahwa sistem pemilu lah yang justru membuka celah korupsi, gratifikasi, kolusi, nepotisme, dan lain sebagainya.Â
Adakah biaya maksimum untuk seorang calon pejabat dalam berkampanye? Sampai saat ini, hanya ada batasan sumbangan lembaga maupun perorangan saja. Bayangkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa semakin banyak dana kampanye yang dikeluarkan, maka semakin besar peluang calon tersebut untuk menang.