Mohon tunggu...
Budiman Ali
Budiman Ali Mohon Tunggu... Nelayan - Pemilik lahan

Petani kampung yang terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pak Jokowi bilang Jakarta Tenggelam 13 Tahun Lagi! Anies Baswedan Bisa Apa?

17 Maret 2017   11:35 Diperbarui: 18 Maret 2017   14:00 7204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waduk raksasa untuk menjernihkan air sungai sebagai sumber air baku bagi warga DKI (sumber : Youtube Rick ARMSTRONG)

Politik yang sehat mempertarungkan gagasan, menawarkan ide dan menjauhi isu-isu yang memecah belah keutuhan masyarakat. Politik sebagai ekspresi integrasi sosial, mestinya berjalan secara menyenangkan, penuh tawa dan canda buat semua.

Politik tidak semestinya mengkotak-kotakkan masyarakat dalam sekat kelompok, yang bahkan kita saksikan berlanjut pada kebencian dan rivalitas abadi.

Untuk pertarungan ide dan gagasan, bisalah kita nikmati dalam pilkada Jakarta. Namun dalam hal politik menyenangkan, rasa-rasanya jauh panggang dari api. Bro-boro menyenangkan, Pilkada DKI malah sarat aroma kebencian yang sebetulnya kita semua membenci kebencian itu.

Ah, sudahlah! Lebih baik kita bahas aspek pertarungan gagasan dalam Pilkada DKI ini.

Satu hal yang paling riuh dalam soal pertarungan gagasan adalah soal reklamasi. Paslon Ahok-Djarot, meski tidak menjadikan reklamasi sebagai bahan kampanye, namun dalam periode kepemimpinan mereka, reklamasi diberi karpet merah.

Dipandang sebagai agenda penyelamatan Ibu Kota, apek-aspek legal reklamasi yang diajukan oleh swasta, direstui keduanya. Tentu saja dengan sokongan pemerintah pusat yang juga terkait dengan rencana membangun tanggul raksasa di Pantai Utara Jakarta.

Memang, restu Ahok-Djarot atas reklamasi tidak berjalan mulus. Terutama karena ada sekelompok LSM (dan belakangan nelayan Muara Angke mengakui mereka selalu diprovokasi oleh LSM) menolak reklamasi. Reklamasi yang sebetulnya ide sangat lama, ada sejak zaman Soeharto, akhirnya jadi riuh dan jadi panggungpolitik.  Syarifuddin Baso, Tokoh nelayan Muara Angke menolak dipolitisasi. "Intinya kami menolak diperalat dalam politik Pilkada DKI karena sebagian besar nelayan asli tak lagi mempersoalkan reklamasi," pungkasnya seperti dilansir Antara.

Reklamasi memang jadi pintu masuk bagi kompetitior Ahok-Djarot, terutama Anies-Sandi untuk menyerang petahana. Terlebih, deretan aktivis yang selama ini vokal menolak reklamasi, menjadi bagian dari Tim Sukses Anies-Sandi. Menolak reklamasi, Anies-Sandi tentu saja harus menawarkan gagasan tandingan.

Gagasan yang diyakini menjadi solusi sebagaimana reklamasi, bisa mencegah penurunan muka tanah Jakarta, mencegah Ibu Kota tenggelam karena rob, dan mejadi sumber air baku bagi jutaan warga Jakarta dan segala industri raksasa yang bermarkas di kota ini.

Pemprov DKI sebetulnya sudah memabangun tanggul pesisir, namun belum cukup ampuh menahan luapan air laut karena saban tahun permukaan air laut memang semakin tinggi akibat perubahan iklim. Belum lagi debit banjir yang cenderung meningkat. Terutama kiriman dari daerah Bogor.

Waduk raksasa untuk menjernihkan air sungai sebagai sumber air baku bagi warga DKI (sumber : Youtube Rick ARMSTRONG)
Waduk raksasa untuk menjernihkan air sungai sebagai sumber air baku bagi warga DKI (sumber : Youtube Rick ARMSTRONG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun