Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Perempuan Bercadar

25 November 2019   01:33 Diperbarui: 25 November 2019   01:46 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Secara alamiah mereka akan berinteraksi satu sama lain. Awalnya dimulai dengan berkenalan. Lalu menjalin sebuah hubungan. Kemudian hubungan semakin dekat dan bisa jadi saling meyukai dan saling bergantung sama lain.

Nah, pertanyaannya adalah bagaimana kita mengidentifikasi teman kita tersebut? Sudah pasti dari wajahnya, kan? Kita dengan mudah dapat menjelaskan ciri-ciri teman kita, "Temen gue itu cantik. Gue suka banget sama dia karena bibirnya selalu tersenyum. Senyum itu ibadah, loh."

Dari sini dapat disimpulkan bahwa wajah adalah faktor utama dalam menentukan identitas seseorang. Bahkan seringkali kita dikenali lebih spesifik, misalnya dari warna rambut, bentuk hidung, telinga, tahi lalat, kumis atau jenggot yang secara keseluruhan merupakan bagian dari wajah.

Makanya kalo mau bikin paspor, KTP atau kartu identitas lainnya, kita diwajibkan untuk membuat foto wajah sebagai ciri identitas kita. Itu juga sebabnya kita suka ngedenger orang ngomong gini, "Namanya gue lupa tapi wajahnya sih inget banget."

Sebaliknya, ketika orang mau menyembunyikan identitas dirinya, yang paling basic adalah mereka memakai topeng. Misalnya perampok. Mereka memakai topeng untuk menyembunyikan wajah dan identitasnya.

Begitu juga dengan jagoan dan superhero, misalnya Zorro, Lone Ranger, Gundala, Spiderman dan lain-lain. Mereka menyembunyikan wajahnya agar tidak dikenali. Fenomena ini semakin memperkuat bahwa wajah adalah representasi utama dari identitas seseorang.

Namun ada peristiwa anomali yang cukup pelik, yaitu perempuan bercadar. Nah, ini adalah peristiwa spesifik yang sangat unik. Pemakaian cadar pada perempuan berangkatnya bukan dari penyamaran.

Tapi dari pemahaman bahwa muka adalah bagian dari aurat yang tidak boleh diperlihatkan pada lawan jenis yang bukan muhrimnya. Pemahaman ini tentu saja berbenturan dengan wajah sebagai representasi identitas sebuah individu. Dan ini sering membuat dilema.

Perlu diketahui bahwa saya datang dari keluarga yang juga sangat Islami. Banyak sanak saudara saya yang memakai hijab dan saya tidak terganggu karena mukanya tetap kelihatan. Ada juga beberapa kerabat saya yang bercadar. Saya juga gak begitu terganggu karena di acara pertemuan keluarga, mereka langsung membuka cadarnya. Jadi saya tau bahwa yang dateng adalah si A atau si B.

Yang bikin saya susah adalah sekarang ini lagi musim berhijrah. Ada cukup banyak temen-temen perempuan saya yang tiba-tiba bercadar. Saya kesulitan untuk mengenali mereka karena semua tampak sama. Ngobrol dengan mereka juga membuat saya gak nyaman, soalnya saya cuma bisa ngeliat matanya. Saya gak tau mimiknya seperti apa.

Hubungan antar manusia akan sangat ideal ketika emosinya terhubung. Ketika sedang berbincang dengan seseorang tentu kita akan merasa nyaman melihat wajahnya berseri. Parasnya nampak bahagia. Senyumnya manis memberikan enerji positif pada kedua belah pihak.

Kalo mereka bercadar, saya gak tau apakah dia lagi tersenyum? Apakah dia lagi berparas tegang? Mimik seseorang adalah patokan untuk menentukan seperti apa emosinya di saat itu.

Saya sejak dulu percaya bahwa senyum adalah sedekah yang paling ringan. Menunjukkan wajah berseri pada lawan bicara memberi enerji positif sehingga tali silaturahmi akan semakin dekat. Bagaimana perempuan-perempuan bercadar mampu melakukan semua itu jika mukanya tertutup?

Pernah kejadian saya berkenalan dengan seorang bercadar. Pertama kenalan, sih, lancar-lancar aja tapi pas ketemu lagi di sebuah mal, saya ditegur oleh seseorang bercadar, "Om Bud! Mau ke mana?"

"Eh, lo siapa, ya?" tanya saya ke sesosok tubuh berbalut kain hitam dari ujung kepala sampe kaki.

"Aku Nurul! Masak Om Bud lupa?" tanya selubung hitam itu.

"Nurul mana, ya?"

"Kita pernah satu kelas di kursus memasak Ibu Hindun di Karbela. Inget, kan?"

Buset! Tentu saja saya inget momen kursus memasak tersebut. Tapi waktu itu ada 8 orang peserta bercadar dan semuanya berseragam serba hitam. Mana gue tau yang perempuan ini yang mana? Nurul sepertinya kesel karena saya gak juga inget sama dia.

"Masak sih gak inget sama saya?" katanya ketus.

"Ya'elaaah! Mana gue inget? Ada 8 orang pake cadar dan semuanya tampak sama. Dari mana gue bisa ngenalin elo?"

"Kan bisa ngenalin dari suaranya? Udah, ah! Resek, lo!" katanya dengan judes lalu pergi meninggalkan saya.

Setelah peristiwa itu saya gak pernah ketemu lagi sama Nurul. Ya, gak masalah juga, sih. Soalnya saya juga gak gitu merasa betemen sama dia. Gimana saya bisa mengakui seseorang sebagai temen jika saya gak pernah ketahui mukanya kayak apa.

Banyak orang yang mencela saya, kenapa saya seperti apriori pada perempuan bercadar. Sebetulnya bukan apriori, sih. Saya ngerti sepenuhnya bahwa memakai cadar adalah hak seseorang dalam meyakini sesuatu yang dia pahami.

But, put yourself in my shoes. Kalian nyaman gak berteman dengan seseorang yang mukanya gak keliatan? Rasanya aneh bergaul dengan seseorang yang misterius. Rasanya gak adil ketika sebuah komunikasi antara dua orang berjalan, yang satu mukanya terbuka dan yang lain tidak.

Okay, sekarang saya mau cerita hal lain lagi dan peristiwa ini cukup membuka wawasan saya.

Suatu hari saya bersama temen-temen mau menghabiskan week end di kawasan puncak. Berhubung saat itu long week end, semua villa yang kami incar sudah penuh. Kami rada kesulitan mendapatkan villa untuk disewa.

Karena udah kepepet, terpaksalah kami mencari villa dari bapak-bapak yang sering menyenter-nyenter mobil menawarkan villa. Biasanya yang mereka tawarkan adalah villa yang kecil dan masuk ke dalam gang tapi gapapalah. Sudah terlanjur sampe puncak, masak, sih, kami harus balik lagi ke Jakarta.

Akhirnya kami berhenti menghampiri seorang laki-laki yang memegang senter. Saya dan seorang teman turun dari mobil menghampiri calo villa itu.

Orang tersebut mengaku namanya Arifin. Dia mengenakan sarung dengan cara menutup wajahnya seperti tokoh ninja. Arifin mengatakan bahwa dia mempunyai berbagai pilihan villa dengan berbagai ukuran. Semuanya masuk ke dalam gang namun masih bisa dilalui mobil.

Setelah kesepakatan terjadi, Arifin mengantar kami ke villa tersebut dengan motornya. Sejak tadi, saya perhatikan dia masih tetap saja mengenakan sarungnya seperti ninja. Sesampainya di villa, saya berkata pada orang tersebut, "Pin, sarungnya dibuka, dong. Saya males ngomong sama orang yang gak keliatan mukanya."

"Hehehehehe...saya udah biasa begini." sahut Arifin menolak permintaan saya dengan cara halus.

Saya perhatikan penampilan Arifin dengan seksama. Mukanya tertutup. Cuma matanya aja yang terlihat. Matanya merah mungkin kurang tidur. Namun pandangannya sangat tajam dan berwibawa. Terus terang saya semakin gak nyaman berbicara dengannya.

Saya memutuskan untuk tidak memaksa dia membuka sarung dari mukanya. Tapi kejadian dengan Arifin membuat saya menyadari satu hal. Kesimpulannya begini, saya bukan gak suka sama perempuan bercadar.

Ini gak ada hubungannya dengan cadar atau gender. Dan juga gak ada hubungannya dengan agama. Mau cewek atau cowok, kalo mukanya ketutup maka akan ada jarak yang membuat kita sulit untuk merasa dekat dengannya.

Gimana pendapat teman-teman?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun