Saya punya pertanyaan: Apakah kalian terganggu dengan expat yang gak mau berbahasa indonesia? Sebelum dijawab, saya punya kisah yang berhubungan erat dengan pertanyaan itu.
Cerita ini terjadi ketika saya masih bekerja di sebuah perusahaan advertising multinasional. Ada seorang expat di kantor bernama George. Saya suka sama dia karena selain pintar, dia juga selalu berusaha berbahasa Indonesia pada semua orang. Dengan perbendaharaan kata yang minim, dia terus berbahasa Indonesia sehingga sering terjadi kelucuan yang membuat orang lain tertawa ngakak.
Misalnya, pas ada temen bagi --bagi kue. George menggigit kue itu itu lalu komentar, "Kue ini enaknya minta maaf."
"Hahahaha..." Semua orang pada tergelak karena mengerti bahwa dia mau bilang 'Kue ini enaknya minta ampun.'
Atau ketika ulang tahun kantor, management berencana untuk merayakannya dengan makan bersama di ruang meeting. Sebelum acara dimulai, George bertanya pada saya, "Budiman, Apa semua sudah berkelompok?" Dia menggunakan kata 'berkelompok' bukan 'hadir'.
"Kamu harus memakai kata 'berkumpul' atau 'hadir'," kata saya.
"Oh saya ulang kalo begitu, 'apakah semua sudah hadir?"
"Jimmy belom datang," sahut saya.
"OK. Kalau begitu mari kita bertunggu."
Orang-orang mulai cekikikan kembali.
"Kalo kalimat aktif biasanya kita memakai awalan 'me'," kata saya mengoreksi.
"OK, kalau begitu mari kita metunggu," kata George dengan suara yakin.
"Hahahahahahaha..." Hadirin makin ngakak! Suasana ruang meeting sangat berisik.
"Kalo awalan 'me' bertemu dengan kata dasar berawalan huruf 'T' maka huruf 'T'nya luluh dan berganti dengan 'N". Saya kembali menjelaskan.
"Oh, baiklah. Jadi harusnya 'menunggu'. Bukan 'metunggu'. Ah susah, ya?"
Mendengar keluhannya teman-teman yang lain makin keras tertawa dan memperolok George, "Kalo mau pinter harus mesabar (Maksudnya sabar), George." Ruang meeting makin heboh!Â
'SUNYI! SUNYII! SUNYI!" teriak George dengan keras pada semua hadirin tapi semua orang malah ketawa makin keras.
Kembali saya mengoreksi dengan suara berbisik, "George, dalam konteks seperti ini, kamu harus memakai kata 'diam' bukan 'sunyi."
"Oh begitukah? Baiklah saya minta ampun," katanya lagi.
"Hahahahaha dalam konteks ini, kamu harus memakai kata 'minta maaf' bukan 'minta ampun', penggunaan 'minta ampun' mah dipake kalo kita ga tahan karena digebukin hahahahahahaha...!"
"SHUT UP! I HATE BAHASA!" teriaknya kenceng banget tapi justru membuat semua orang ngakak abis.
OK. Kembali paada pertanyaan di atas: Apakah kalian terganggu dengan expat yang gak mau berbahasa indonesia? Kalo saya mah terganggu banget! Kalo kontraknya cuma jangka pendek, OK, lah. Tapi banyak sekali expat yang udah tinggal di sini belasan tahun dan gak mau berbahasa indonesia. Saya berpendapat, kalo cari duit di sini, makan di sini, e'e' di sini, ML di sini, kenapa ngomong gak mau pake bahasa di sini? Makanya saya suka banget sama George ini.
Pertanyaan berikutnya. Apakah kehadiran expatriate menguntungkan buat kita? Atau merugikan? Yah tergantung expatriatenya sih. Kalau expatriatenya pintar, rendah hati, mau berbagi dan berbahasa Indonesia serta tidak rasis seperti George mungkin menguntungkan.
Di Indonesia memang ada 2 tipe expat. Yang pertama seperti George. Mereka mau bergaul, mau transfer ilmu, down to earth dan mau belajar bahasa Indonesia.
Yang lainnya adalah yang memang karena bego makanya dikirim ke dunia ketiga ini. Sialnya, sampai di Indonesia mereka sok pinter, sombong, gak mau berbahasa Indonesia dan rasis pula. Mereka umumnya gak lama umurnya di sini. Karena selain gak bisa apa-apa, kerjanya gak becus, kemahiran utamanya cuma meneriakkan kata:Â Fuck! Fuck! Fuck!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H