Mohon tunggu...
Budiman
Budiman Mohon Tunggu... Guru - Penulis ⦁ Mubaligh ⦁ Guru

Penulis 2 buku non fiksi remaja (Kun Al Fatih 2017 dan Falyaqul Khairan 2018) ⦁ Mubaligh (Alumni Ma'had Kutubussittah Babussalam Makassar 2016 dan Ma'had Albirr Unismuh Makassar 2021) ⦁ Guru (SMP SMA Wihdatul Ummah Takalar)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Syarat Periwayatan Hadis

5 November 2022   13:31 Diperbarui: 5 November 2022   14:08 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang periwayatan hadis berarti membicarakan tentang dua hal. Pertama penerimaan hadis, kedua penyampaian hadis, atau dikenal dengan istilah tahammul wa ada'ul hadits. Sebelum hendak meriwayatkan hadis, seorang rawi secara khusus atau seorang penuntut ilmu secara umum semestinya memperhatikan syarat-syarat periwayatan hadis. Apakah dirinya sudah pantas untuk menerima hadis terlebih menyampaikannya dengan maksud meriwayatkannya.

Syarat Menerima Hadis 

Para ulama tidak begitu ketat memberikan rincian tentang syarat-syarat sahnya seorang penerima riwayat. Namun seorang penerima riwayat sedikitnya haruslah memiliki dua hal utama, pertama sehat akal pikirannya, dan kedua secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.[1]

Para ulama hadis berbeda persepsi tentang boleh tidaknya mereka yang belum mencapai usia taklif melakukan kegiatan mendengar hadis. Mayoritas ahli hadis cenderung memperbolehkan dan sebagian mereka tidak memperbolehkan. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib cenderung pada pandangan pertama yang membolehkan. Karena sahabat, tabiin dan ahli hadis setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak seperti, Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Said Al-Khudri dan lain-lain tanpa memilah-memilah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.

Namun kemudian ulama hadis yang membolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan anak kecil, berbeda pendapat tentang batasan umurnya. Sebab hal ini tergantung pada masalah "tamyiz" dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Ulama hadis telah berusaha maksimal untuk menjelaskannya, yang penjelasannya dapat kita ringkaskan ke dalam tiga pendapat

Pertama, bahwa umur minimalnya adalah 5 tahun. Alasan yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhri dalam kitab Shahih-nya. Dari hads Muhammad Ibn al-Rabi' ra. berkata, 'Aku masih ingat ketika Nabi saw. Menyiram air dari timba ke mukaku, dan aku (waktu itu) berumur lima tahun.'

Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil menjadi absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Yang beliau maksudkan adalah 'tamyiz'. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan sekitar.

Ketiga, keabsahan aktivitas anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak sudah bisa memahami pembicaraan sekaligus mampu memberikan tanggapan, maka ia sudah mumayiz dan absah pendengarannya, meski umurnya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak bisa memahami pembicaraan dan memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadis tidak absah, sehingga usianya harus di atas 5 tahun.[2]

Syarat Menyampaikan Hadis

Kebanyakan ulama hadis, ahli ushul, dan pakar fiqih menyepakati bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dhabit), serta memiliki integritas keagamaan ('adalah) yang pada akhirnya melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqah). Sifat adil dalam periwayatan hadis adalah suatu karakter ada dalam diri seorang periwayat yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau selalu konsisten dalam melakukan kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. 

Maka seorang periwayat harus memenuhi empat syarat untuk mencapai tingkat 'adalah, yaitu:

1). Islam. Pada periwayatan suatu hadis, seorang rawi harus beragama Islam. Periwayatan orang kafir dianggap tidak sah menurut ijma ulama.

2). Baligh. Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis meski penerimaannya itu sebelum memasuki usia baligh. Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah SAW:

Artinya: "Pena pencatat amal diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia baligh."[3]

3). Adil. Secara etimologis adil artinya memperlakukan secara adil, lawan kata bertindak zalim. Yaitu, memberikan kepada seseorang apa yang menjadi miliknya. Jika tidak, maka ambil darinya apa-apa yang ada padanya. Secara terminologis, orang yang adil adalah orang muslim, berakal, dewasa, bebas dari sebab-sebab kefasikan, dan rusaknya muru'ah atau martabat.

Adil adalah suatu sifat dan karakter yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran yang dipegangnya, serta selalu berupaya menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan juga berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, serta selalu menjaga kepribadiannya.

4). Dhabit. Secara etimologis adh-dhabit artinya hafalan dengan kuat. Dikatakan, dha-ba-tha-hu artinya dia menjaganya dengan kuat dan hafal dengan yang sangat ketat. Secara terminologis ialah seorang perawi yang kuat hafalannya ketika meriwayatkan hadits dengan hafalan yang sempurna tanpa keraguan. Adh-dhabit ada dua macam:[4]

Dhabthu shadrin. Seorang perawi teguh dengan apa-apa yang ia dengar sedemikian rupa sehingga ia siap kapan saja untuk 'mempresentasikan' hafalannya.

Dhabthu  kitabin.  Seorang perawi memelihara dan menjaga kitabnya yang ada padanya sejak ia mendengarnya dan menyahihkannya sehingga ia mampu menyampaikan isi dari kitabnya itu.

Pengertian dhabit  di sini adalah bagusnya kemampuan ingatan perawi ketika ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya serta dihafalnya sejak ia menerima sampai menyampaikannya. Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an perawi adalah dengan jalan i'tibar terhadap berita-beritanya dengan kabar-kabar yang tsiqah dan dapat memberi keyakinan.[5]

Note: Artikel ini adalah makalah hasil presentasi kami dalam perkuliahan di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar pada hari sabtu 9 april 2022 pukul 16.00-18.00 wita. Mohon mencantumkan link atau meninggalkan komentar jika ingin menyalin tulisan ini. Terima kasih.

---

Referensi :

1. Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad. Studi Hadis (Depok: Rajawali Pers, 2019), hal. 72.

2. Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad. Studi Hadis, hal. 78-79. 

3. Abu Daud. Sunan Abi Daud Vol. 4 no. 4398 (Beirut: Al Maktabah Al Ashriyah, tanpa tahun), hal. 139

4. Abdul Mannan ar-Rasikh. Kamus Istilah Istilah Hadits (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 122.

5. Khairil Iksan S. dan Sari Narulita. Ulumul Hadis Kompilasi (Cet. I; Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNJ, 2015), hal. 52-53.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun