Mohon tunggu...
BUDI MADJMOE
BUDI MADJMOE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menyukai petualangan

LAND AND ENGINEERING SURVEYOR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan di Atas Liang Lahat

28 September 2022   17:40 Diperbarui: 28 September 2022   17:47 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

25 September 2022, Minggu pagi, sebagai seorang ayah yang punya anak dua tahun setengah, pasti sang anak selalu mengikuti kemana jejak ayahnya saat liburan dirumah. Dari bangun tidur hingga matanya terpejam lelah pun yang dicari Papah... sementara sang ibu banyak  menikmati self time nya dihadapan gadget dengan menu shop on line.

"Pah...  hayu liat excavator..."jemariku diraih kehalaman rumah.

"Lets go Beh..."

Kami menuju pintu utama cluster, yang didepannya terbendung irigasi selebar 12 meter, disana sedang ada aktifitas normalisasi, kalau di Jakarta naturalisasi, sebagaimana masa jabatan gubernurnya.

Aku ikuti langkah semangat Bebeh, ke arah sungai... Sejurus kemudian langkah kami telah melewati tiga rumah...

"Wuihhh... sepertinya excavator ngk ada Beh..."

"Kita liat aza Papah..."

"Okey.... Hemmm.... kita mampir ke kuburan Abah dan Emih yahhh"

"Okey Bos...."

"Abah itu, Papahnya Papah, Emih itu Mamahnya Papah....

"Kakek Nenek yahhh?"

"Yups.... bentul sekali...."

Tak sampai 200 langkah kami telah berada di rimbunan rumput diatas pusara dua makam.

"Wawwww... banyak rumputnya Beh..."Aku raih jelatar jelatar rumput dengan tanganku, pikiranku melayang, betapa tidak rumput ini, dua bulan sudah menutupi pusara kedua orang tuaku. Aku jadi malu sama diriku sendiri, menangis sedih, mengingat betapa perjuangan beliau untuk anak-anaknya, tak sebanding dengan dengan hanya perawatan pusaranya... Maafkan aku Tuhan...

"Pah... banyak orang yach..." telunjuknya mengarah ke utara, sekitar delapan depa, ada dua belas lelaki, sepertinya sedang menggali kubur... nampak jelas percakapan mereka.

"Kemarin si Juned hilang motor beat putih"

"Nya hoooh, motor ditaro di luar terus, walau dikunci tetap saja dicolong orang"

"Si Sakmad kan baru keluar penjara.."

"Tah budak eta... baru keluar penjara, sudah maling motor"

"Mungkin/meureun bukan si Sakmad yang ngambil.., sekarang kan awewena dagang sorabi dan sayuran, jadi dia ngantar magang/belanja ka pasar sayur Pabuaran.."

Dua orang lelaki dengan cangkul gagang pendek sekitar dua hasta, tetap sibuk mengali lubang satu kaki dua meter, sementara yang lain santai melihatnya, sambil sesekali menghisap rokok dan menikmati jaburan/camilan dari keluarga.

"Jihhhh... hooh nya magang teh jam tilu/tiga Shubuh... baruk/cenah/infonya tadi pagi orang Pabuaran pulang dari magang jatuh samping mobil  travel yang di derek di Ciledug, lalakinya jatuh ke kanan, awewena jatuh ke kiri dan kepalanya terseret mobil travel..."

"Mangkaning kanu beton (apalagi kena beton jalan), atuh huluna peupeus batatayan nya..."

"Hoooh atuh..."

"Ari mobil travel mah, platna warna koneng hohhh? Atau merah"

"Jih... kami mah mun ka Jakarta naek travel platna hitam heh..."

"Ari/Kalau hitam mah atuh plat motor, kawas motor si Juned.."

"Plat motor si Juned yang hilang mah, warna merah, cenah motor kantor..."

"Gawe dimana si Juned dech Wa...?"

"Si Juned mah gawe di Cirebon, mantri kesehatan hewan..."

"Ohh.... pantesan  dia mah kehilangan motor ge santai saja... sihoreng/ngk taunya motor kantor..."

"Nya tetep bae, pasti ditanyaan ku atasana atuh..."

"Hooh... meuereun kudu mawa surat kehilangan ti Polisi.."

"Kawasna mah/sepertinya harus buat Wa..."

Diarah selatan, aku asik saja dengan Bebeh tak menyisakan rumput-rumput diatas pusara....

"Pahh... minum...."

"Kita ngk bawa minum.Beh... bentar lagi yah... kita pulang.. ini ada rumput yang susah dicabut..."

Akar rumput itu berada di antara dua bata merah, disamping kuburan ibuku, masa hanya sekedar akar rumput dibiarkan saja, mengganggu pusara ibu... seberapa susahnya pokoknya akar harus tercabut, tak bisa satu rumpun kupecah jadi beberapa rumpun kecil... dan akhirnya tercabut juga. 

Aku bawa anak kecilku ke pusara, hanya ingin, mereka juga akan merawat pusara aku kelak, begitu mungkin pelajaran kehidupan secara turun temurun, sehingga manusia di dunia membuat norma agar perasaan yang mati, dihargai oleh tindakan dan ucapan manusia yang masih hidup. Norma-norma itu terlahir mungkin karena ingin menjaga perasaan manusia agar terasa nyaman, kadang agar norma-norma berjalan dibuatkanlah sebuah petuah, dituliskan dalam cerita, dibumbui dengan kata pantangan, bahkan dituliskan dalam kitab suci, atau jadi semacam undang-undang.

Rumput-rumput dipusar kedua orang tuaku, sudah tidak terlihat, dan indah rasanya makam ibu bapak ku tanpa ditumbuhi rumput liar, yang membuat perasaan manusia yang hidup, mengatakan bahwa makam-makam harus bersih dan terawat.

Setelah menghantarkan Fatihah di pusara Abah dan Emih, kuraih tangan Bebeh, menjauh... hawar-hawar obrolan bapak-bapak yang sedang menggali liang lahat disertai tawaan kecil, sebaskom beras dalam kantong plastik satu kiloan dibagikan keluarga untuk para uwa emang yang turut menggali liang lahat, tak ada kata dan nada sedih, atau tangisan diatas pusara, tak ada takziah dengan baju hitam, kaca mata hitam atau payung hitam, bahkan analogiku membagikan makanan, minuman bahkan beras yang kadang didalamnya ada lipatan uang kertas yang namanya sholawat, bentuk ucapan terima kasih keluarga atas bantuan para tetangga sanak taulan, atas bantuan meringankan kesusahan. Semua dilakukan dengan gembira, sebagai bentuk ke iklasan melepas anggota keluarga ke liang lahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun