Mohon tunggu...
BUDI MADJMOE
BUDI MADJMOE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menyukai petualangan

LAND AND ENGINEERING SURVEYOR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan di Atas Liang Lahat

28 September 2022   17:40 Diperbarui: 28 September 2022   17:47 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kawasna mah/sepertinya harus buat Wa..."

Diarah selatan, aku asik saja dengan Bebeh tak menyisakan rumput-rumput diatas pusara....

"Pahh... minum...."

"Kita ngk bawa minum.Beh... bentar lagi yah... kita pulang.. ini ada rumput yang susah dicabut..."

Akar rumput itu berada di antara dua bata merah, disamping kuburan ibuku, masa hanya sekedar akar rumput dibiarkan saja, mengganggu pusara ibu... seberapa susahnya pokoknya akar harus tercabut, tak bisa satu rumpun kupecah jadi beberapa rumpun kecil... dan akhirnya tercabut juga. 

Aku bawa anak kecilku ke pusara, hanya ingin, mereka juga akan merawat pusara aku kelak, begitu mungkin pelajaran kehidupan secara turun temurun, sehingga manusia di dunia membuat norma agar perasaan yang mati, dihargai oleh tindakan dan ucapan manusia yang masih hidup. Norma-norma itu terlahir mungkin karena ingin menjaga perasaan manusia agar terasa nyaman, kadang agar norma-norma berjalan dibuatkanlah sebuah petuah, dituliskan dalam cerita, dibumbui dengan kata pantangan, bahkan dituliskan dalam kitab suci, atau jadi semacam undang-undang.

Rumput-rumput dipusar kedua orang tuaku, sudah tidak terlihat, dan indah rasanya makam ibu bapak ku tanpa ditumbuhi rumput liar, yang membuat perasaan manusia yang hidup, mengatakan bahwa makam-makam harus bersih dan terawat.

Setelah menghantarkan Fatihah di pusara Abah dan Emih, kuraih tangan Bebeh, menjauh... hawar-hawar obrolan bapak-bapak yang sedang menggali liang lahat disertai tawaan kecil, sebaskom beras dalam kantong plastik satu kiloan dibagikan keluarga untuk para uwa emang yang turut menggali liang lahat, tak ada kata dan nada sedih, atau tangisan diatas pusara, tak ada takziah dengan baju hitam, kaca mata hitam atau payung hitam, bahkan analogiku membagikan makanan, minuman bahkan beras yang kadang didalamnya ada lipatan uang kertas yang namanya sholawat, bentuk ucapan terima kasih keluarga atas bantuan para tetangga sanak taulan, atas bantuan meringankan kesusahan. Semua dilakukan dengan gembira, sebagai bentuk ke iklasan melepas anggota keluarga ke liang lahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun