Dalam kampanye Paslon 02, di dalam berbagai kegiatan dan kampanye, selalu dikemukakan tentang program makan siang dan susu gratis sebagai salah satu program unggulan, apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
 Sejak kemunculannya dan bahkan sampai detik ini pun, program ini masih selalu saja diperdebatkan, dibuli dan dikritik oleh banyak pihak, baik melalui medsos ataupun melalui media cetak maupun media elektronik. Hal ini semata mata adalah karena publik berharap ada penjelasan resmi tentang bagaimana program ini bisa dilaksanakan.
Sambil menunggu hasil resmi KPU tentang siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dalam kesempatan ini, penulis ingin mencerna dasar pemikiran yang ada dari pihak penggagas dan bermaksud mengupas dari kacamata kemaslahatan, apabila program ini akan dijalankan.Â
Sepertinya program ini juga tengah diujicobakan oleh Prabowo untuk makan siang gratis bagi 3000 siswa di Cikembang, Sukabumi beberapa hari yang lalu. Seberapa efektifkah program ini akan bisa dilakukan?
Dari data Badan Pusat Statistik tahun 2023, prevalensi stunting di Indonesia ada di kisaran angka 21.6%. Sementara itu, target pemerintah adalah menurunkan angka stunting di level 14% di akhir tahun 2024.Â
Dari sumber data Riset Dasar Kesehatan (Risdaskes) tahun 2018, 23.6% anak usia 5-12 tahun mengalami stunting. Dari kedua data di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hampir 1 dari 4 anak usia sekolah dasar di Indonesia mengalami kekurangan gizi.Â
Jika kita menghubungkan kondisi saat ini  dengan canangan Tahun Indonesia Emas 2045, maka sepertinya, kita perlu melakukan lompatan besar untuk mewujudkan hal tersebut, karena untuk mencapai target tersebut, selain banyak faktor ikut mempengaruhi, diperlukan pula sumber daya manusia yang cerdas, sehat dan kapabel yang akan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Anak-anak usia sekolah dasar pada hari ini, akan menjadi golongan usia produktif dalam kurun waktu 15-20 tahun dari sekarang.
Jadi apabila kita memang ingin mewujudkan Indonesia Emas pada tahun 2045, kita harus memiliki sumber daya manusia unggul. Namun demikian realitas adanya 1 dari 4 anak Indonesia masih kurang gizi, perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus.Â
Mau tidak mau, suka tidak suka, diperlukan suatu langkah nyata agar perbaikan gizi anak bisa dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah, middle income trap, melalui pertumbuhan dan daya saing ekonomi kita yang dikelola oleh putra putri Indonesia.
Seperti apakah makan siang gratis itu harus diberikan? Seyogyanya ini memerlukan kajian mendalam dari para ahli gizi dan juga melibatkan organisasi ataupun asosiasi kemasyarakatan terkait, agar komposisi gizi yang seimbang bisa didapatkan dari sebuah nilai asupan makanan sehat.Â
Dalam pelaksanaannya pun, kegiatan ini harus tetap diawasi oleh suatu kelompok atau perorangan di setiap wilayah tertentu, untuk memastikan bahwa kandungan gizinya dipenuhi dan tetap terjaga, tidak hanya di awal program melainkan harus berkesinambungan.
Karena wilayah Indonesia yang begitu luas, maka terdapat pula variasi makanan yang disebut makanan pokok. Menjadi keharusan bahwa program ini harus mengadopsi kebiasaan dan potensi setempat. Jangan sampai kebiasaan makan papeda di Papua, diubah menjadi makan nasi.Â
Demikian pula soal susu. Sebaiknya susu yang diberikan adalah susu yang merupakan hasil ternak terdekat. Jika tidak ada susu, mungkin juga bisa diganti susu kedelai yang berprotein tinggi. Semuanya memerlukan pemikiran secara seksama untuk sebesar-besarnya membuat program ini bisa berhasil dan tepat manfaat.
Menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, nominal makan siang dan susu gratis yang diberikan adalah sebesar Rp. 15.000 per anak per hari. Seyogyanya besaran ini pun setelah dihitung cermat setelah kajian dari para ahli gizi tersebut dihasilkan. Jadi walaupun ini makan gratis, menu makanan yang diberikan tidaklah asal kenyang apalagi jauh dari kaidah kebersihannya.
Penulis tertarik untuk menganalisa sisi kemaslahatan program ini dengan asumsi kita mengikuti angka dari pemerintah, yakni Rp. 15.000 per anak per hari. Juga diberitakan bahwa penerima dari program ini adalah balita sebanyak 22,3 juta, anak TK 7,7 juta, SD 28 juta, dan Madrasah hingga SMP 12,5 juta. Jadi total penerima manfaat saat ini tercatat sebesar 70.5 juta anak.Â
Dari berbagai rujukan, jumlah hari sekolah dalam satu tahun ajaran, setelah dikurangi hari libur sekolah dan hari libur nasional adalah sekitar 200-220 hari. Jika penganggaran per tahun memperhitungkan hari terlama, yakni 220 hari, maka Pemerintah harus menyediakan anggaran sebesar hampir Rp. 233 trilyun per tahun. Biaya ini adalah biaya langsung, belum termasuk biaya tenaga ahli, pengawasan dan perangkat kerja terkait.
Dari mana uangnya? Masih perlu digali lagi darimana pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar itu. Dana tersebut masih harus ditambah lagi karena program ini pun perlu adanya pengawasan. Untuk honor para pengawas yang pastinya berjumlah ribuan, bahkan puluhan ribu, maka akan perlu dana yang lebih banyak lagi.
Pemerintah harus lebih aktif memikirkan sumber pendanaan yang akan dipakai agar program ini berjalan sesuai harapan. Bila tidak ada tambahan pendapatan, maka APBN yang sudah sarat dengan beban, akan makin terbebani dan akan memperbesar defisit anggaran.Â
Sebelumnya ada usulan bahwa dananya akan diambil dari dana BOS dan seketika itu pula hal ini mendapatkan protes dari para guru dan pemangku kepentingan, yang tidak rela anggarannya dipotong.Â
Penulis menilai, Pemerintah harus mengkaji lagi sumber pendanaan yang tepat dan sepertinya tidak melulu harus menggunakan dana APBN. Dana CSR dari BUMN dan peran perusahaan-perusahaan swasta yang berhubungan dengan sektor makanan dan kesehatan, tertutama yang ada di dekat lokasi dibaginya makan siang tersebut, bisa dihimbau untuk berperan serta.Â
Menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagaimana dikutip dari harian Kompas Rabu, 4 Juli 2023, jika dioptimalkan, jumlah dana CSR ini bisa mencapai Rp. 80 trilyun per tahun.Â
Tentu saja, tidak mungkin jumlah ini 100% digunakan untuk program makan siang gratis ini. Kemungkinan tambahan dana bisa dilakukan melalui realokasi anggaran yang seyogyanya dilakukan dari pos pos yang nilai multiplier efeknya rendah.Â
Intinya, karena jumlah dananya cukup besar, mau tidak mau pemerintah harus menggali sumber sumber pendapatan lainnya. Dan karena itulah, program ini harus dijalankan bertahap dengan lebih dulu melakukan kajian wilayah, di mana wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan lebih dulu.
Karena besaran dana yang diperlukan, yang menurut release pemerintah bisa mencapai Rp. 500 trilyun per tahun, maka seyogyanya program ini mesti dihitung secara cermat. Simulasi pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari program ini harusnya bisa memberikan daya ungkit yang besar untuk memompa pertumbuhan ekonomi yang nyata dan berkesinambungan. Tentang siapa yang harus menjadi penanggung jawab program ini, tentu Presiden terpilih harus menimbang masak masak, bagaimana dan oleh siapa, dana untuk kebutuhan makan siang dan susu gratis ini harus dijalankan.Â
Persoalan transparansi dan keterlibatan elemen elemen masyarakat penting untuk menjadikan program ini bermanfaat secara menyeluruh, baik untuk pemenuhan gizi, penciptaan lapangan kerja baru, tumbuhnya sentra sentra ekonomi desa dan lain lain. Menjadi keharusan bahwa pemerintah mempersiapkan semuanya secara matang agar ketika sudah berjalan nanti, tidak lagi gonta ganti kebijakan yang tentunya akan membuat kebingungan bagi pihak pelaksana baik di tingkat pusat maupun perangkat terkecil.
Jika mengacu kepada visi pembangunan yang telah dibuat oleh Paslon 02, Prabowo Subianto, yang berwujud Asta Cita atau Delapan Cita Cita, maka Cita-Cita ke-4, yakni penguatan SDM dan Cita Cita ke-6, yakni membangun dari desa untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, bisa menjadi kenyataan.
Bagaimana idealnya?
Karena desa diproyeksikan menjadi titik awal pertumbuhan ekonomi, maka dana yang dibutuhkan, haruslah ditransfer langsung ke desa, sesuai dengan data siswa penerima manfaat yang terus menerus diperbaharui validitasnya. Dana dari pemerintah pusat harus langsung ditransfer ke desa, sebagai unit pelaksana terkecil dalam wilayah yang bisa dijangkau pemerintah pusat. Dana ini bisa langsung dikelola oleh BUMDES atau Koperasi.Â
Pembelanjaan dana tersebut, harus tetap memperhatikan lingkungan sendiri, siapa penghasil beras atau makanan pokoknya, siapa penghasil daging/telur di lingkungan setempat, siapa yang menanam sayur, siapa yang menghasilkan susu dan seterusnya.Â
Jika dana tersebut langsung mengalir kepada lingkungan setempat, maka dengan sendirinya dampak ekonominya akan bisa langsung dirasakan. Para produsen bahan makanan di tingkat desa ini pun tentunya harus diidentifikasi dan dipersiapkan. Bila sebagian besar dana program ini bisa dioptimalkan untuk diputar di wilayah desa tersebut, maka ekonomi masing-masing desa akan tumbuh maksimal. Keberhasilan program ini, tidak hanya soal ekonomi.Â
Sifat gotong royong masyarakat di segala lapisan akan bisa digerakkan untuk meningkatkan kebersamaan dan kohesi sosial. Masyarakat penerima manfaat ini pun diharapkan bisa turut serta menjaga, agar kelangsungan program makan siang gratis ini bisa berlanjut dan penyimpangan di lapangan juga bisa diminimalisir. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H