Setiap kali isu mengenai terorisme merebak, institusi Polri selalu menjadi sumber informasi utama. Media kemudian mem-blow up tanpa memperdulikan apakan informasi itu akurat atau tidak, karena yang terpenting bagi mereka adalah bisa lebih cepat dalam pemberitaan. Pengelola institusi pers kita bermutasi dari institusi yang berlomba-lomba menampilkan berita paling berimbang menjadi institusi yang berlomba-lomba menjadi penyaji nomor satu.
Sebetulnya sulit menyalahkan institusi pers atas realitas pemberitaan seperti itu. Dari semua pilihan tema pemberitaan, mereka yang duduk di belakang layer (para pemimpin redaksi dan redaktur) hanya memutuskan beradasarkan pasokan berita yang berhasil dikumpulkan para awak media di lapangan. Laporan-laporan hasil pencarian berita oleh wartawan menjadi bahan mentah yang digodok untuk kemudian diputuskan sebagai materi pemberitaan.
Pada tataran inilah kunci dari semua pemberitaan media ada para wartawan di lapangan. Setiap wartawan yang memperoleh informasi awal haruslah meragukan keakurasian informasi baru itu. Sikap ini akan mendorong wartawan melakukan check and recheck ataupun crosscheck. Begitulah idealnya wartawan yang profesional. Keyakinannya hanya ditujukan kepada bagaimana menghasilkan berita yang tak akan membawa efek negative bagi masyarakat luar dan efek hukum bagi dirinya sendiri.
Namun, wartawan seperti itu hamper tidak pernah ditemukan dalam institusi pers di negeri ini. Para wartawan dalam perkembangan saat ini, merupakan pekerja media yang bekerja berdasarkan rutinitas sehari-hari mengumpulkan informasi tanpa perlu menganalisi setiap informasi yang dikumpulkan. Hal paling penting bagi wartawan di lapangan cuma satu, yakni “berapa banyak berita yang berhasil dikumpulkan hari ini.”
Kuantitas berita sangat terkait dengan tingkat kesejahteraan wartawan karena sebagaian besar manajemen pers di negeri ini cenderung memosisikan produktivitas para awak sebagain indicator prestasi. Semakin berlimpah berita yang dihasilkan wartawan, maka wartawan bersangkutan akan diakui sebagai wartawan produktif. Karena itu, institusi pers akan mengganjarnya reward yang berkaitan dengan peningkatan saleri.
Karena itu wartawan hanya memperdulikan pada kuantitas berita. Mereka biasanya bekerja tanpa memperdulikan tatanan jurnalisme yang benar. Mereka tidak terlalu memikirkan apakah informasi yang diperoleh dari Polri terkait terorisme itu benar atau tidak. Lebih parah lagi, wartawan sudah membangun frame bahwa semua informasi dari Polri pastilah benar.
Di era globalisasi saat ini, keterbukaan informasi bukan saja menandakan bahwa tidak ada informasi yang bisa ditutup-tutupi. Tapi juga menandakan bahwa keterbukaan informasi menjadi momentum penting bagi kalangan tertentu untuk mendesain informasi. Institusi-institusi yang selama ini menjadi sumber-sumber informasi penting bagi industri pers, kini memiliki kesadaraan yang tinggi untuk memakai pers sebagai penyambung lidah kepentingan politiknya kepada masyarakat luas.
Institusi pemerintah daerah, misalnya, cenderung hanya menyampaikan informasi tentang keberhasilan-keberhasilan pejabat dalam mengelola dana APBD. Padahal, di akhir-akhir masa jabatan pejabat bersangkutan, tidak sedikit yang kemudian terkait masalah hokum karena dana APBD dikorupsi. Akibatnya, hamper tidak ada pejabat birokrat yang diproses hokum karean andil institusi pers. Wartawan sendiri baru terlihat sibuk memberitakan korupsi pejabat setelah pejabat bersangkutan dinyatakan terlibat atau ditahan aparat penegak hokum.
Dalam konteks Lampung, kita bisa mengatakan bahwa sebelum kasus kredit macet Bank Tripanca terungkap ke public, institusi pers “berteman dekat” dengan pemilik bank yang bermasalah itu. Selama bertahun-tahun, pertemanan itu dibina melalui sharing advertising (pembagian iklan) kepada institusi-institusi pers dengan perjanjian-perjanjian kontrak kerja bahwa pers akan memberitakan semua informasi terkait kinerja yang baik dari Bank Tripanca.
Karena itu, institusi pers tak punya andil atas terungkapnya kasus hokum pengelola Bank Tripanca. Agak aneh ketika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung memberikan penghargaan Saidatul Fitiria—penghargaan atas jasa jurnalis dalam mengungkapkan kasus yang mengubah pandangan public di Lampung-- kepada salah satu wartawan di Lampung.
Kembali ke persoalan Polri sebagai sumber informasi terorisme, bisa dikatakan informasi itu pantas diragukan kebenarannya. Polri merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat. Tanggung jawab itu makin tidak bisa dijalankan karena masyarakat makin merasa tidak aman akibat aksi perampokan bersenjata otomatif.
Berpindahnya senjata otomatis seperti revolver (milik Polri), FN (milik TNI), dan senjata serbu AK-4 dan M-16 ke tangan para perampok di Medan dan Bukittinggi, merupakan fakta yang menyudutkan Polri. Dengan senjata-senjata moderen itu, Polri semakin kesulitan menghadapi aksi kriminalitas karena mereka hanya dibekali revolver dengan slindier hanya berisi enam butir peluruh. Untuk menjaga kepentingan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri mengalihkan isu ke terorisme. Dengan begitu, Densus 88 Anti Teror yang selama ini bekerja dengan senjata serbu yang otomatis, akan seimbang jika berhadapan dengan perampok yang juga menggunakan senjata sejenis.
Keterlibatan Densus 88 Anti Teror akan menjawab banyak pertanyaan yang selama ini muncul di masyarakat. Karena perampok-perampok bank itu merupakan teroris, makanya menjadi sangat logis jika mereka menggunakan senjata otomatis. Artinya, Polri tidak perlu lagi mencari alasan untuk menjawab pertanyaan kenapa senjata otomatis bisa berada di tangan masyarakat. Polri tinggal menunggu hasil kerja Densus 88 Anti Teror sambil mendesain isu baru untuk membenarkan setiap pilihan kebijakan di lapangan yang diambil pasukan Densus 88 Anti Teror. Ini mempermudah Polri karena Densus 88 Anti Teror berada dalam lingkungan institusi tersebut, lan gsung di bawah Kapolri.
Setiap informasi yang didesain Polri, disampaikan kepada wartawan yang selalu menunggu di Mabes Polri dan mencari peluang bisa bertanya langsung kepada Kapolri. Pada tataran inilah Polri menemukan momentum penting guna memanfaatkan pers untuk menjaga nama baik institusinya. Setiap informasi yang disampaikan kepada pers, selalu akan mendeskriditkan terorisme. Pemberitaan pers pun tidak berimbang.
Dalam Kode Etika Jurnalistik, setiap pemberitaan pers harus mengandung nilai berita (news values) besar dan menarik. Kasus perampokan bank sebetulnya biasa dan tidak menarik, tetapi oleh Polri diubah menjadi kasus terorisme sehingga pers tertarik dan membesarnya dengan kurang proporsional, alias tidak berimbang. Pembesarannya boleh jadi karena terprovokasi oleh sumber berita tertentu hingga media hanya meliput dari satu sisi (cover one side).
Mestinya, jika ada dua pihak yang terlibat konflik, kedua pihak harus diliput (cover both sides). Bila liputan hanya dari satu pihak, berita yang lahir menjadi timpang, istilahnya tidak objektif, alias tidak netral. Istilah untuk itu yang lebih populer adalah media berpihak karena ada kepentingannya. Mungkin ada media yang tidak sengaja berpihak, tetapi tidak jarang media sengaja berpihak.
Baik wartawan maupun Polri sama-sama saling memanfaatkan (simbiosis mutualisme). Dalam situasi seperti itu, sulit mencari pers yang jujur. Sukar pula mengharapkan Polri akan bekerja serius menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, karena lebih sibuk mencari kambing hitam. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H