Kasus “Jurnal Inul” – yaitu saat “Agnes dan Inul Dicatut di Makalah Jurnal Internasional - Kompas.com (29/8/2012)” - menjadi contoh yang menarik dan fenomenal. Terlepas dari motif si pengirim, jelas penyelenggara jurnal kecolongan karena – selain nama dan alamat fiktif – artikel tersebut ternyata juga hasil jiplakan dari artikel di jurnal lain. “Jurnal Inul“ memang menjadi perdebatan karena di satu sisi, reviewer secara teknis biasanya melakukan “blind review” yaitu menilai sebuah artikel tanpa mengetahui identitas penulisnya, misalnya dengan menghapus nama atau identitas penulisnya dari naskah yang sedang dinilai.
Namun di sisi lain, fakta bahwa “jurnal Inul” ternyata hasil jiplakan menunjukkan bahwa penerbit jurnal tidak melakukan penulusuran secara elektronik secara cermat. Pada beberapa kasus lain, ada penerbit jurnal yang memberitahukan ke pengirim tentang hubungan artikel yang dikirim dengan artikel lain yang mereka temukan karena ada tingkat kemiripan. Mereka pun meminta klarifikasi tentang kemiripan atau hubungannya dengan artikel lain tersebut.
Cara pembuatan “paper fiktif” pun bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak khusus, seperti sudah dijelaskan dalam tulisan berjudul: ““Paper Generator,” Hebat Tapi Bisa “Sesat”. Ternyata cara tersebut banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk pembuktian jurnal abal-abal. Terlepas dari motifnya masing-masing, pengiriman paper hasil “robot cerdas” tersebut sudah memakan banyak jurnal yang akhirnya dicap sebagai jurnal abal-abal.
*****
Selain cara pembuktian secara langsung di atas, kita bisa memanfaatkan informasi dari pihak ketiga, yaitu dengan indikator yang menjadi ukuran apakan sebuah jurnal tergolong bermutu atau tidak. Kita pun sering mendengar sebutan jurnal yang berkaliber tinggi atau “high impact” karena banyak dikutip para peneliti atau penulis artikel lain di seluruh dunia.
Salah satu indikator tersebut adalah citation index. Kita percayakan saja ke informasi tersebut selama kita tidak bisa membuat indikator tandingan yang obyektif dan diterima secara luas di kalangan akademisi atau para peneliti. Memang ukuran tersebut tidaklah mutlak karena jurnal sekelas IEEE atau Elsevier pun pernah kecolongan –jumlah kasusnya relatif kecil - dengan lolosnya artikel ilmiah yang sempat diterbitkan, walaupun akhirnya dianulir dan penulisnya masuk dalam daftar hitam.
Rujukan dari pihak ketiga tersebut bisa dijadikan standar penilaian yang bisa mengklasifikasikan mutu jurnal. Informasi tersebut setidaknya menjadi informasi awal bagi dosen agar bisa memilah dan memilih jurnal yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Harapannya, semakin tinggi pangkat yang ingin diraih, semakin tinggi pula mutu artikel atau jurnalnya.
Perbedaan kemampuan atau klasifikasi kepangkatan inilah yang sebaiknya dikaitkan dengan klasifikasi mutu jurnal dalam proses kepangkatan dosen. Dosen muda yang jam terbangnya belum tinggi pasti menghadapi kesulitan masuk ke jurnal yang tergolong kelas Q1 atau jurnal yang sudah mempunyai citation indeks yang tergolong rendah sekalipun. Untuk masuk ke Jurnal kelas Q4 pun harus berkali-kali dikembalikan untuk direvisi kembali.
*****
Begitulah catatan hari ini. Saya sih setuju-setuju saja dengan pengetatan pengurusan kepangkatan atau berbagai kebijakan terkait dari pemerintah yang sering membuat dunia kampus terkaget-kaget. Toh menjalani profesi ini tidak hanya dengan mengandalkan gelar dan pangkat yang sekedar label saja. Kalau toh suatu saat menyandangnya, apresiasi itu menjadi amanah yang teramat berat.
Kesimpulannya, filter pertama dan utama adalah ada pada diri sendiri karena kita sendirilah yang paling mengetahui apakah artikel merupakan hasil karya sendiri dan tidak melanggar kaidah ilmiah atau norma akademik. Motif menulis, apakah demi mengejar kepangkatan atau berbagi ilmu pengetahuan, bisa disikapi berbeda-beda antar individu. Namun yang patut direnungkan, gelar dan pangkat itu bukanlah jaminan harkat atau martabat dosen. Itulah yang berat karena kinerja dosen bukan hanya diukur dengan jumlah artikel ilmiah semata.