Hari ini (5/9/2012), tepatnya tadi sore mulai jam 15.00 Saya mengikuti acara di kampus tentang penjelasan proses pengurusan kepangkatan dosen. Salah satu topik yang menarik adalah tentang “jurnal abal-abal” yang disinyalir telah memakan banyak korban di kalangan akademisi. Sudah banyak dosen yang terganjal gara-gara jurnal abal-abal, baik yang akhirnya mendapat sangsi berat – yakni dipecat- maupun sangsi ringan berupa penangguhan pengurusan kepangkatan, atau artikelnya tidak bisa diakui untuk perhitungan nilai kepangkatan.
Akhirnya secara tidak resmi beredarlah daftar jurnal international yang di-black list dan dianggap “haram” untuk publikasi di sana. Meskipun dosennya tidak punya motif negatif atau karena ketidaktahuan, dosen yang mempublikasikan artikel di junal tersebut bisa terkena getahnya: artikel tidak diakui, kadang ditambah kena sanksi pula karena dianggap telah melakukan pelanggaran. Inilah yang akhirnya menjadi pembicaraan seru di dunia kampus.
Pemerintah berharap pengetatan proses penilaian kepangkatan berujung pada peningkatan kualitas dosen yang menyandang pangkat, mulai dari Asisten Ahli sampai Guru Besar. Upaya tersebut ditujukan untuk mengurangi berbagai praktek yang menyederai kaidah ilmiah, bahkan integritas yang sudah menjadi rahasia umum. Berbagai modus, mulai dari pelanggaran berat seperti jurnal fiktif, artikel hasil plagiat, menyisipkan nama penulis tambahan, sampai ke pelanggaran ringan seperti ketidaklengkapan daftar pustaka atau format penulisan yang tidak sesuai dengan konvensi yang disepakati di kalangan akademisi.
Saya belum tahu persis definisi jurnal abal-abal. Sebutan lain dengan makna yang serupa pun bermunculan: jurnal bodong, jurnal gurem, atau jurnal fiktif. Intinya, jurnal tersebut diragukan kadar ilmiah atau keprofesionalan dalam pengelolaannya. Jika diperlukan, pemerintah pun sampai melakukan validasi untuk mengetahui alamat resmi pengelola jurnal, mengunjungi websitenya, mengkaji susunan dewan redaksi, bahkan sampai meminta konfirmasi ke reviewernya secara personal. Jumlah edisi dan siapa saja penulisnya pun dicermati untuk mengetahui “kalibernya”.
*****
Lalu bagaimana caranya melakukan seleksi jurnal atau mengetahui atau membuktikan apakah sebuah jurnal tersebut dianggap abal-abal? Saya menyimak ada beberapa cara pembuktian jurnal abal-abal, baik secara langsung maupun tidak langsung, walau saya pun sembari bertanya-tanya tentang pepatah: "karena nila setitik, rusa susu sebelanga".
Pertama, mereview artikel yang sudah dipublikasikan di jurnal sasaran. Para pakar melakukan evaluasi terhadap mutu artikel tersebut sesuai dengan bidang kepakarannya masing-masing. Cara ini digunakan oleh dirjen DIKTI untuk menilai artikel yang digunakan untuk kenaikan pangkat dosen. Harus diakui ada perbedaan mutu dan jurnal yang diajukan oleh dosen. Rasanya sebagian besar dosen tidaklah mungkin menjadi penemu ulung atau peneliti tingkat dunia. Cara ini harus disertai klasifikasi mutu yang sesuai dengan tingkat kepangkatan dosen.
Penilaian lainnya bisa dilakukan dengan menilai tingkat kemiripan sebuah artikel dengan tujuan menemukenali indikasi plagiat dari artikel yang sudah dipublikasikan. Teknik ini sudah diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi atau Dirjen DIKTI yaitu dengan melakukan penelusuran secara elektronik, lebih tepatnya dengan menggunakan perangkat lunak khusus. Apalagi kebijakan pengunggahan karya ilmiah dosen sudah diberlakukan, seperti pernah diulas dalam tulisan berjudul: “Karya Ilmiah Dosen Wajib Online”.
Cara kerjanya sebenarnya sangat sederhana yaitu membandingkan kemiripan artikel satu dengan artikel lainnya. Langkah ini sebenarnya cukup dengan menggunakan mesin pencari, yaitu dengan memasukkan beberapa penggalan isi artikel – misalnya satu paragaf – ke mesin pencari. Jika paragraf tersebut mengutip atau mengambil sebagian isinya dari artikel lain maka hasil pencarian akan menunjukkan artikel lain tersebut.
Sayangnya cara penelusuran ini hanya sebatas dibandingkan dengan tulisan lain yang sudah terindeks di mesin pencari atau ada dalam basis data yang digunakan oleh perangkat khusus pendeteksi plagiat. Jika artikel tersebut mengambil dari sumber lain yang tidak online –misalnya hanya disimpan di rak buku atau lemari di perpustakaan - maka penelusuran secara elektronik tidak efektif. Praktek plagiat baru bisa ditemukan jika penulis atau pihak yang mengetahui artikel yang dijiplak menyandingkannya dengan artikel hasil jiplakan.
Kedua, melakukan semacam “eksperimen” yaitu dengan membuat contoh paper, lalu dikirim ke jurnal sasaran. Paper tersebut dibuat sedemikian rupa sebagai paper asal-asalan, misalnya hasil jiplakan atau dibuat “alakadarnya” tanpa mematuhi kaidah ilmiah. Jika hasil reviewnya memutuskan bahwa artikel tersebut diterima tanpa ada saran atau perbaikan yang substansial, jelas penyelenggara jurnalnya patut dipertanyakan. Apalagi jika reviewernya tidak bisa melakukan penelusuran elektronik sehingga indikasi plagiat tidak bisa dideteksi sejak awal.
Kasus “Jurnal Inul” – yaitu saat “Agnes dan Inul Dicatut di Makalah Jurnal Internasional - Kompas.com (29/8/2012)” - menjadi contoh yang menarik dan fenomenal. Terlepas dari motif si pengirim, jelas penyelenggara jurnal kecolongan karena – selain nama dan alamat fiktif – artikel tersebut ternyata juga hasil jiplakan dari artikel di jurnal lain. “Jurnal Inul“ memang menjadi perdebatan karena di satu sisi, reviewer secara teknis biasanya melakukan “blind review” yaitu menilai sebuah artikel tanpa mengetahui identitas penulisnya, misalnya dengan menghapus nama atau identitas penulisnya dari naskah yang sedang dinilai.
Namun di sisi lain, fakta bahwa “jurnal Inul” ternyata hasil jiplakan menunjukkan bahwa penerbit jurnal tidak melakukan penulusuran secara elektronik secara cermat. Pada beberapa kasus lain, ada penerbit jurnal yang memberitahukan ke pengirim tentang hubungan artikel yang dikirim dengan artikel lain yang mereka temukan karena ada tingkat kemiripan. Mereka pun meminta klarifikasi tentang kemiripan atau hubungannya dengan artikel lain tersebut.
Cara pembuatan “paper fiktif” pun bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak khusus, seperti sudah dijelaskan dalam tulisan berjudul: ““Paper Generator,” Hebat Tapi Bisa “Sesat”. Ternyata cara tersebut banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk pembuktian jurnal abal-abal. Terlepas dari motifnya masing-masing, pengiriman paper hasil “robot cerdas” tersebut sudah memakan banyak jurnal yang akhirnya dicap sebagai jurnal abal-abal.
*****
Selain cara pembuktian secara langsung di atas, kita bisa memanfaatkan informasi dari pihak ketiga, yaitu dengan indikator yang menjadi ukuran apakan sebuah jurnal tergolong bermutu atau tidak. Kita pun sering mendengar sebutan jurnal yang berkaliber tinggi atau “high impact” karena banyak dikutip para peneliti atau penulis artikel lain di seluruh dunia.
Salah satu indikator tersebut adalah citation index. Kita percayakan saja ke informasi tersebut selama kita tidak bisa membuat indikator tandingan yang obyektif dan diterima secara luas di kalangan akademisi atau para peneliti. Memang ukuran tersebut tidaklah mutlak karena jurnal sekelas IEEE atau Elsevier pun pernah kecolongan –jumlah kasusnya relatif kecil - dengan lolosnya artikel ilmiah yang sempat diterbitkan, walaupun akhirnya dianulir dan penulisnya masuk dalam daftar hitam.
Rujukan dari pihak ketiga tersebut bisa dijadikan standar penilaian yang bisa mengklasifikasikan mutu jurnal. Informasi tersebut setidaknya menjadi informasi awal bagi dosen agar bisa memilah dan memilih jurnal yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Harapannya, semakin tinggi pangkat yang ingin diraih, semakin tinggi pula mutu artikel atau jurnalnya.
Perbedaan kemampuan atau klasifikasi kepangkatan inilah yang sebaiknya dikaitkan dengan klasifikasi mutu jurnal dalam proses kepangkatan dosen. Dosen muda yang jam terbangnya belum tinggi pasti menghadapi kesulitan masuk ke jurnal yang tergolong kelas Q1 atau jurnal yang sudah mempunyai citation indeks yang tergolong rendah sekalipun. Untuk masuk ke Jurnal kelas Q4 pun harus berkali-kali dikembalikan untuk direvisi kembali.
*****
Begitulah catatan hari ini. Saya sih setuju-setuju saja dengan pengetatan pengurusan kepangkatan atau berbagai kebijakan terkait dari pemerintah yang sering membuat dunia kampus terkaget-kaget. Toh menjalani profesi ini tidak hanya dengan mengandalkan gelar dan pangkat yang sekedar label saja. Kalau toh suatu saat menyandangnya, apresiasi itu menjadi amanah yang teramat berat.
Kesimpulannya, filter pertama dan utama adalah ada pada diri sendiri karena kita sendirilah yang paling mengetahui apakah artikel merupakan hasil karya sendiri dan tidak melanggar kaidah ilmiah atau norma akademik. Motif menulis, apakah demi mengejar kepangkatan atau berbagi ilmu pengetahuan, bisa disikapi berbeda-beda antar individu. Namun yang patut direnungkan, gelar dan pangkat itu bukanlah jaminan harkat atau martabat dosen. Itulah yang berat karena kinerja dosen bukan hanya diukur dengan jumlah artikel ilmiah semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI