Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Money

Bu Dosen, PDCA Pun Tidak Sederhana!

23 Agustus 2012   09:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:25 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesekali “berbalas pantun“ ah sama Bu Aridha yang telah membuat tulisan berjudul: “Manajemen Itu Sederhana Saja!“. Yang jadi fokus perhatian Saya adalah konsep PDCA (Plan, Do, Check, Action) yang dikutip oleh Bu Dosen.

Motif Edward Deming saat memformulasikan PDCA didasari asumsi bahwa pekerjaan (di pabrik) itu tidak sesederhana seperti seorang pekerja pabrik menjalani tugasnya sebagai sebuah rutinitas belaka. Buruh pabrik bekerja sesuai arahan, bak pepatah: Bisa (bekerja) karena biasa. Nah, kebiasaan itu pada awalnya dianggap sebagai kesederhanaan bagi para ilmuwan, termasuk Edward Deming. Kesederhaan yang bisa menimbulkan berbagai masalah yang mempengaruhi mutu barang yang dihasilkan.

Pekerja pabrik bak robot produksi yang terus dihela untuk tetap produktif. Fenomena itu menjadi awal berkembangnya ilmu manajemen oleh para pengamat (buruh pabrik). Pengamat yang akhirnya menjadi para ilmuwan di bidang manajemen. Tatkala, produknya tidak bermutu, timbulah upaya menemukenali mengapa itu bisa terjadi. Di saat itulah Deming memberikan kontribusi dalam majamenen (mutu), bahkan jadi suhu bagi negeri matahari terbit, yang di kemudian hari perusahaannya berhasil membanjiri dunia dengan produk-produknya.

PDCA itu berputar bak roda pedati atau bianglala di taman impian. Ini berarti statis. Selalu ada risiko jalan di tempat. Berputar-putar saja saat orang lain berlari. Kelemahan itu berusaha diatasi oleh Deming dengan konsep CQI (Continuous Quality Improvement). Jadi, konsep tersebut bisa berkelanjutan sehingga perusahaan bisa mempraktekannya secara dinamis.

Ya, hidup pun bisa berputar-putar atau jalan di tempat, namun sebaiknya kita upayakan seperti kita mendaki gunung dengan cara naik mengelilinginya sebelum sampai ke puncak. Selanjutnya, cari gunung yang lebih tinggi dengan aral merintang yang lebih menantang, kecuali sudah puas dengan apa yang diraih saat ini. Begitulah esensi CQI. Sesederhana itu.

Ketika “kesederhanaan“ PDCA berakhir stagnan, pakar lain mengembangkannya menjadi model yang lebih “rumit“. Lalu kita mengenal metode DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control), buah dari Six Sigma Project, yang pertama lahir di Motorola yang kini malah dicaplok oleh Google. Berikutnya, ada juga model Malcom Baldrige, mantan pentolan departemen perdagangan AS yang ikut-ikutan membuat kerangka kerja “Baldrige Criteria for Performance Excellence” sebagai respon ketertinggalan perusahaan AS dari perusahaan Jepang; atau BSC (Balanced ScoreCard) temuan dari Robert S. Kaplan.

Akhirnya konsep PDCA yang tadinya ada di wilayah “permutuan”, berkembang menjadi model-model manajemen modern, yang tentunya lebih rumit lagi.

Deming sendiri lebuh suka dengan istilah PDSA (Plan, Do, Study, Action) daripada PDCA yang, konon, diformulaiskan oleh murid-muridnya di Jepang pada tahun 1950-an. Beliau khawatir konsep check hanya sekedar: “Melotot” atau mancari kesalahan-kesalahan orang lain. Sebagai bagian dari kubu Management Science, Deming menempatkan pekerja bukan sebagai obyek, tapi subyek yang bisa menjadi penentu kinerja perusahaan. Jadi, Deming lebih suka dengan istilah menyimak atau menelaah mengapa terjadi kesalahan, bukan sebatas siapa yang melalukan kesalahan.

PDCA ideal adalah PDCA yang berputar seperti spiral yang jika ditelusuri dari sisi luar, bergerak terus ke arah dalam, yang diasumsikan sebagai sasaran. CQI, lebih tepatnya, Semakin banyak putarannya, semakin lama menuju sasaran. Itu terjadi pada starting point dengan status mutu: “Buruk Sekali”. Pada saat ada tekad untuk memperbaikinu, jumlah iterasi atau siklus PDCA pun lebih banyak dibandingkan para jawara di bidang mutu produk, atau belakangan dalam hal kinerja perusahaan.

Singkat kata, Deming menjadi pelopor dan inspirasi bagi pengembangan berbagai model dan teknik yang mengejawantahkan PDCA dalam perusahaan. Tak heran beliau didapuk sebagai embahnya Modern Quality Control. Kita pun mengenal “fishbone diagram” sebagai salah satu teknik diagnosa masalah, atau berbagai teknik Statistical Process Control lainnya, yang bahkan berkonvergensi dengan teknologi informasi berbuah industrial control dengan  menerapkan algoritma rumit semacam “fuzzy logic” atau “neural network”.

Lupakan saja model, metode, atau teknik yang rumit-rumit itu. Esensi tulisan ini bukan untuk mengungkit kerumitan. Niatnya adalah mengupas kemungkinan terjadinya malpraktek pada penerapan ilmu manajemen, seperti yang tersirat dalam tulisan Bu Dosen. Jadi kita kembali ke model PDCA sebagai sebuah simbol tentang bagaimana mempraktek manajemen secara “sederhana“.

Menurut Saya, Bu Dosen tidak sedang menjadikan PDCA sebagai topik utama tulisannya. Tidak pula sedang menyimak berbagai metode atau teknik turunannya yang memang rumit-rumit itu. Tulisannya semacam  kritik atas “kerumitan” kehidupan yang diinisiasi oleh kepongahan para ilmuwan atau akademisi yang justru menimbulkan disharmoni terhadap hidup dan kehidupan itu sendiri. Bahkan, sebuah teori atau ilmu bisa dijadikan justifikasi dari sebuah ketidakbenaran. Itulah yang dijadikan sentilan khas Bu Dosen.

Saya melihat esensi dari tulisan Bu Dosen adalah kita perlu memandang atau memperlakukan  manajemen itu bukan sebatas teori, tapi praktek. Bukan pula sekedar mengutip teori lalu berujung  malpraktek. Lagipula manajemen bukan hegemoni para ilmuwan yang gemar berteori saja. Manajemen tidak hanya Management by Science, tapi ada juga Management by practise, bahkan management by intuition. Bukankah Manajemen juga diartikan sebagai seni mengerjakan (sesuatu) melalui orang lain? Sisi seni inilah yang susah-susah gampang untuk dikuasai, termasuk ketika dipraktekkan.

Ya, mempraktekan manajemen itu perlu “seniman“. Seniman yang memahami pekerjaan, bukan sebatas obyek eksperimen atau dirumit-rumitkan. Manajemen adalah seni berkomunikasi agar orang lain bisa saling memahami di antara perbedaan posisi atau kemampuannya masing-masing. Manajemen adalah seni berempati terhadap orang lain agar terhindar dari arogansi jabatan. Manajemen adalah seni bersinergi dengan orang lain sebagai bentuk kesadaran bahwa kita ini bukanlah superman atau hidup sendiri dalam sebuah organisasi.

Saya sendiri lebih menyukai kesederhanaan dalam mempraktekan sebuah ilmu rumit. Sekali lagi, ini baru sebatas harapan. Jika belum berhasil diwujudkan, berarti saya masih tergolong orang-orang yang hanya suka berfikir dan berbicara, pun menulis yang rumit-rumit saja ya hehehe

Btw, saya menulis apa sih ini? Lho kok malah jadi tulisan yang ribet dan rumit ya :) Gak apa-apa deh, sesekali berpikir rumit. Bisa jadi saya tergolong akademisi yang memang suka berpikir rumit, namun bukan bermaksud sok pintar. Sumpah deh, Bu Dosen, ini hanya tulisan ngawur sembari menikmati mudik di lembur hehehe

Btw lagi, semua konsep-konsep manajemen yang dikutip di atas adalah buatan orang asing. Memang tidak ada salahnya mengambil yang baik dari orang asing, namun mengapa kita tidak mencoba gaya manajemen pribumi atau setidaknya mengembangkannya menjadi model manajemen ala Indonesia? Bukan begitu, Pak QZ? :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun