Aturan batasan maksimal kepemilikan saham bank sudah terbit, yakni Peraturan Bank Indonesia (PBI) (PBI) Nomor 14/ 8 /PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Singkatnya, batasan maksimal saham adalah berkisar antara 20%, 30%, dan 40% tergantung kategori pihak pemiliknya. Namun ada pihak yang diperbolehkan tetap menjadi pemegang saham lebih dari aturan tersebut karena syarat-syarat tertentu. Saya menyebutnya dengan dispensasi.
[caption id="attachment_166623" align="alignnone" width="584" caption="Apakah BI khawatir asing hengkang dari perbankan nasional? (foto koleksi pribadi)"][/caption]
Setidaknya ada tiga jenis dispensasi yang menarik untuk dicermati. Pertama, kepemilikan saham oleh pemerintah pusat dikecualikan. Kedua, pemilik saham lama boleh menguasai saham lebih besar dari batas maksimal asal bank yang dikuasainya tetap sehat. Ketiga, masih terkait dengan hal kedua, pemilik asing (lama) masih bisa menguasai saham bank sampai 99 persen, sesuai dengan aturan sebelumnya yang masih berlaku. Adakah implikasi yang menarik dari ketiga hal tersebut? Mari kita simak satu per satu.
Pertama, soal pengecualian terhadap bank persero, saya menyetujuinya dengan syarat tertentu. Bank persero memang bisa menjadi penyangga perbankan nasional jika dilihat kontribusi aset bank persero terhadap perbankan nasional tergolong tinggi, yakni 1346,4 Triliun Rupiah berbanding 3827,4 Triliun Rupiah atau 35,17 persen. Aset sebesar itu hanya dari 4 bank persero saja. Kondisi tersebut setidaknya bisa menandingi hegemoni kepemilikan asing di perbankan nasional.
Memang bukan karena asing semata. Toh asing pun cukup dimanjakan dengan aturan baru ini. Saya justru melihat peran bank persero sebagai lokomotif perkembangan sektor riil bisa terjaga dengan aturan ini. Dispensasi ini berlaku efektif jika bank persero memang menjadi pembangkit perekonomian nasional.
Jika tidak, inilah yang saya maksud dengan “setuju dengan syarat”. Jika bank persero tidak efisien dan membuat biaya tinggi sektor riil melalui pemberian kredit yang relatif mahal, maka bank persero hanya mengisap rente dari masyarakatnya sendiri. Untungnya, bank persero makin membaik jika dilihat dari Statistik Perbankan Indonesia terbaru, yakni edisi Mei 2012. Efisiensi bank persero mulai membaik dibandingkan rata-rata bank umum, seperti terlihat dari nilai rasio BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional).
Menurut Statistik Perbankan Indonesia terbaru dari BI (Mei 2012), BOPO bank persero tercatat sebesar 75,92% atau lebih rendah dibandingkan rata-rata bank umum sebesar 76,75%. Bank Persero hanya kalah dari BPD dalam rasio BOPO ini, namun lebih baik dibandingkan kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa, BUSN Non-Devisa, Bank Campuran, dan Bank Asing.
Saat ini Bank Persero pun berhasil meraih untung besar, bahkan rasio ROA (Return on Asset) bank persero paling tinggi dibandingkan kelompok bank lain atau rata-rata bank umum. ROA Bank Persero per Mei 2012 adalah 3,58%, sedangkan rata-rata bank umum hanya mencapai 3,05%.
Namun keuntungan dan aset besar belum tentu seiring dengan keberhasilan bank persero dalam mendukung perkembangan sektor riil. Keuntungan finansial secara internal tersebut seharusnya sejalan dengan manfaat sosial atau dampak eksternal bank persero terhadap perekonomian nasional, pun kesejahteraan masyarakat.
Kedua, sekarang kita telaah dispensasi kepada para pemilik saham lama. Jika pemilik saham lama tersebut masih menguasai saham bank secara mayoritas- bahkan katakanlah sampai 99 persen- maka pemilik lama tersebut aman-aman saja, selama banknya menunjukkan kinerja yang baik. Kinerja baik tersebut berdasarkan penilaian kesehatan bank, yaitu diiberi peringkat 1 atau 2. Jika kinerjanya merosot pun, BI melihatnya pada tiga periode penilaian.
Jika selama tiga periode penilaian tersebut nilainya jeblok – yaitu 3, 4 atau 5- maka pemilik lama tersebut wajib melakukan divestasi agar porsi kepemilikan sahamnya sesuai dengan aturan baru. BI memberi waktu penyesuaian sampai dengan 5 tahun setelah kinerja bank tersebut jeblok.