Pertanyaan tersebut terkait dengan analisis biaya dan manfaat dari pendidikan. Nah di sinilah rumitnya karena konsep biaya dan manfaat dari pendidikan relatif sulit diukur, setidaknya tidak semudah barang dan jasa lainnya yang lebih berwujud.
Biaya pendikan dari perspektif calon mahasiswa bisa mencakup biaya sosial seperti gaji dosen, pembayaran buku, atau biaya untuk layanan yang diberikan kampus, termasuk segala sarana dan prasarananya. Sedangkan biaya pribadi meliputi biaya hidup selama menjadi mahasiswa. Bahkan biaya pendidikan tersebut mengandung konsep opportunity cost. Misalnya, berapa kerugian seorang mahasiswa karena memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi daripada bekerja?
Jika memutuskan masuk kampus dan rela (atau terpaksa) membayar biaya pendidikan yang dianggap sebagai investasi mahal, masihkah mahasiswa berharap balik modal? Salah satu jawabannya berkenaan dengan manfaat pendidikan.
Selain manfaat ekonomi, pendidikan pun bisa menghasilkan manfaat non-ekonomi, termasuk manfaat sosial dan budaya. Lebih rumitnya lagi, manfaat non-ekonomi tersebut bisa berbeda antara manfaat individu dengan manfaat publik atau negara. OECD dan Unesco pun –dalam publikasi berjudul: “Financing Education-Investments and Returns“ – menyatakan: “Educational outcomes also extend beyond individual and national income. Education is a force that develops well-rounded and engaged citizens, and builds more cohesive and participatory societies”.
Namun, tidak mudah mengkonversi manfaat non-ekonomi tersebut menjadi nilai uang agar bisa disandingkan dengan biaya pendidikan berupa sejumlah uang yang telah dibayar oleh mahasiswa. Sebenarnya rumusnya sederhana saja untuk menilai apakah masuk ke kampus itu menguntungkan atau tidak? Jika manfaat pendidikan – baik manfaat ekonomi dan non-ekonomi- lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan mahasiswa atau orang tua, maka masuk ke perguruan tinggi adalah investasi yang menguntungkan.
Jadi walaupun telah membayar mahal, jika manfaat setelah lulusnya lebih besar, misalnya gaji tinggi, maka – untuk sebagian orang - mahalnya biasa pendidikan tidak dipersoalkan. Namun jika sudah mahal, ternyata malah menjadi pengangguran dan beban keluarga, maka buat apa kita memaksakan diri masuk ke perguruan tinggi?
---ooOoo---
Tidak ada jaminan barang mahal itu berkualitas. Kalau toh barang tersebut tetap laku, mungkin ada alasan lain konsumen untuk tetap membelinya. Bisa jadi motif membelinya adalah gaya hidup, gengsi, atau sekedar menambah kepuasan semata, misal dengan gelar di atas kertas. Jika sektor pendidikan sudah dibiarkan seperti itu, pendidikan di Indonesia sudah memasuki era industri pendidikan. Apapun pilihannya, semoga tujuan dan makna pendikan tidak terabaikan. Dan pilihan itu ada di tangan masyarakat juga.
Catatan:
Untuk teman-teman yang tertarik dengan analisis biaya dan manfaat pendidikan, silakan dibaca “Cost-Benefit Analysis in Educational Planning” karangan Maureen Woodhall yang diterbitkan oleh Unesco tahun 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H