Kedua, kampus bisa membuat jasa lain dengan menjual kepakarannya, namun bukan menjual ke mahasiswa yang sudah dibebani biaya pendidikan. Revenue generating program bisa menjadi pilihan, misalnya dengan jasa konsultan atau penerapan hasil riset dan pengembangan yang bernilai komersial. Kendalanya, seberapa banyak dosen atau kampus yang mampu dan mumpuni untuk menerapkan program ideal ini?
Opsi lainnya – seperti yang tertuang dalam RUU PT- adalah pembentukan badan usaha yang dikelola oleh kampus, misalnya mendirikan warung kopi atau toko buku, bahkan mall atau gedung perkantoran. Tantangannya, masih sempat dan mampukah manajemen kampus menjadi pemilik yang handal dalam mengawasi unit bisnisnya? Jika berhasil, keuntungan dari unit bisnis tersebut bisa menjadi setoran pemasukan yang bisa mengurangi beban mahasiswa. Rasanya kampus belum mempunyai kultur bisnis yang mumpuni. Atau jangan-jangan, kampus malah getol nyari untung melalui unit bisnis. Lupa dengan tugas utamanya sebagai pusat pengembangan IPTEKS. Yang lebih parah lagi, keuntungan bisnis tersebut tidak dialokasikan untuk subsidi anggaran pendidikan agar mahasiswa bisa membayar lebih murah.
Mengelola bisnis tidaklah mudah. Pakar atau guru besar di kampus pun belum tentu piawai dalam soal ini. Tentu kita masih ingat tentang pertentangan dikotomi klasik: Akademisi versus Praktisi. Jika kampus hanya setor modal untuk unit bisnis tersebut, tidak ada jaminan bahwa unit bisnis tersebut akan sukses. Skenario terburuk adalah unit bisnis merugi. Investasi kampus pun bisa terbuang percuma. Alih-alih mengharapkan tambahan pemasukan untuk mensubsidi anggaran pendidikan, investasi dari kampus malah amblas. Bagaimana pertanggungjawabannya jika skenario terburuk tersebut terjadi?
Skenario sebaliknya, pengelola unit bisnis bisa mengeruk untung besar, dan sebagian besar labanya disetor ke kampus untuk mensubsidi anggaran pendidikan. Defisit anggaran bisa ditekan. Kondisi idealnya adalah porsi pemasukan dari mahasiswa menjadi lebih kecil. Akhirnya biaya pendidikan pun lebih murah. Mungkinkah skenario ini terjadi di Indonesia? Jangan-jangan, unit bisnis merugi, dan beban kerugiannya ditimpakan ke mahasiswa, atau minta talangan dari pemerintah yang notabene uang rakyat.
Ketiga, dana abadi yang terakumulasi dari sumbangan para pemangku kepentingan yang peduli dengan pendidikan. Saking besarnya dana abadi tersebut, bunganya saja bisa menutup total biaya pendidikan. Apalagi jika dana abadi tersebut terus bertambah tanpa menadahkan tangan ke pemerintah, yang dari sisi anggaran pasti terbatas.
Selama ini, anggaran pemerintah habis terserap untuk biaya operasional tahunan, atau kegiatan investasi sarana atau prasarana baru. Keberlanjutan pasokan anggaran dari pemerintah pun kadang tergantung keputusan politik, termasuk alokasi jenis anggaran pendidikannya. Sumber pemasukan dari dana abadi memang masih langka di Indonesia, termasuk penyediaannya oleh pihak pemerintah. Opsi ini masih belum bisa diharapkan untuk menutup anggaran pendidikan agar biaya yang dibebankan kepada masyarakat lebih rendah.
Keempat, opsi terakhir yang paling gampang adalah mengeruk pemasukan dari calon mahasiswa. Gampang dan besar hasilnya. Dari persepktif ekonomi, calon mahasiswa (berikut orang tua atau walinya) bak konsumen yang harus membeli produk atau jasa yang ditawarkan kampus. Ada harga ada barang. Begitulah. Prinsip ekonomi yang sangat sederhana. Toh, selalu ada segmen pasar yang berani membayar mahal untuk memperoleh gelar. Bukankah prilaku konsumen (pendidikan) pun beragam?
Murah atau mahal pun akhirnya sangat relatif. Namun opsi ini sangat menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Pemborosan atau ketidakefisienan penggunaan anggaran akhirnya menjadi beban calon mahasiswa. Semakin boros dan tidak efisien, semakin besar biaya pendidikan yang harus ditanggung calon mahasiswa.
Kapan Balik Modalnya?
[caption id="attachment_187149" align="aligncenter" width="454" caption="Berapa tahun lulusan bisa mengembalikan investasi yang dikeluarkannya saat kuliah? (sumber: Maureen Woodhall)"]
Pendidikan saat ini dikenal sebagai bentuk investasi dalam pengembangan modal sumber daya manusia yang menghasilkan manfaat ekonomi, serta memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan negara di masa depan melalui peningkatan kapasitas produktif dari masyarakat. Namun salah satu pertanyaan dari Maureen Woodhall adalah “Is education a profitable form of investment for the individual as well as for society?”.