“Football is the opera of the people”, ujar Stafford Heginbotham, mantan pemilik klub Braddford City Inggris; Michel Platini – mantan pemain yang kini jadi boss hajatan Piala Eropa – membantahnya: “For me, football is just a game, not a drama”. Perdebatan, perseteruan, bahkan baku hantam sudah biasa di sepakbola. Setuju atau tidak setuju, sepakbola kini menjadi tontonan utama yang membius semua penggemarnya. Toh Lesley Garret pun berkata: ”Opera is credible drama now, and it costs less than going to a football match. What have you got to lose?”
Hasrat, Asa, Putus Asa
Permainan sepakbola sebenarnya gitu-gitu saja, namun aktor panggungnya silih berganti. Darrel Royal – pelatih American football - pun berkata: “You know, a football coach is nothing more than a teacher. You teach them the same subject, and you have a group of new guys every year”. Wah, jika guru beneran mengajar saat jadwal pertandingan sepakbola, bisa jadi sebagian besar siswanya mangkir belajar. Art Modell – pemilik National Foot Ball- pun berkata: “The pride and presence of a professional football team is far more important than 30 libraries”.
Sepakbola layaknya hasrat, bahkan masyarakat Brazil menganggapnya sebagai agama kedua. “It is very important that football can see beyond religion but FIFA does not just ignore its impact”, kata dedengkot FIFA Sepp Blatter. Ya, dampak permainan 22 orang tersebut memang luar biasa. “Football is an incredible game. Sometimes it's so incredible, it's unbelievable”, ujar Tom Landry, seorang pelatih berkebangsaan Amerika.
“Football will always be my foremost passion”, kata David Ginola – mantan Newcastle, Villa, Hotpsur, dan Everton - yang sempet beraksi juga di cat walk. Tidak aneh banyak yang berganti warga negara, naturalisasi, bahkan hijrah demi mengais rezeki. “I need to go play football. I don't care about anything else”, kata Freddy Adu, sempat disebut The Next Pele kelahiran Ghana namu meredup dan kini memperkuat timnas AS. Cristiano Ronaldo – Sang kapten Portugal yang kemarin (10/6/2012) bertekuk lutut sama Jerman- pun berkata: “Without football, my life is worth nothing”.
Arena sepakbola kadang menghadirkan drama. Ada frustasi dan kecewa. Ada klimaks dan anti klimaknya dibungkus rasa pilu. Seperti retorikanya salah satu legendary Arsenal Thierry Henry: ”In football you always get judged on your last game. Whoever you are, or how amazing you are, it's the last game that everyone has seen”. Atau frustasinya Gary Lineker – mantan punggawa dari Three Lion yang mengakhiri karir di Jepang- yang berujar: “Football is a simple game. Twenty-two men chase a ball for 90 minutes and at the end, the Germans always win”. Jerman dan Inggris memang selalu memanas, seolah meneruskan perseteruan masa lalu.
Trik, Intrik, Politik
Permaian yang kelihatan sederhana itu membuat semua orang terpesona. “The rules of soccer are very simple, basically it is this: if it moves, kick it. If it doesn't move, kick it until it does”, kata Phil Woosnam, pemain Wales yang pernah main di Aston Villa dan Pelatih American Soccer (bukan American football). Namun, selalu terbersit keindahan dan kekuratan yang membuat orang terpana, seperti kata mantan pemain American football Knute Rockne: “The essence of football was blocking, tackling, and execution based on timing, rhythm and deception”.
Hasrat kuat menjadi pemenang menjadi energy luar biasa bagi pelaku sepakbola. Penguasaan bola memang penting, namun bukan menjamin jadi penguasa atau pemenangnya. Kadang segala trik dan intrik pun dilakukan, yang kadang mencederai peraturan dan semangat fair play. Tak jarang mengenyampingkan apa yang dikatakan mantan pemain dan pelatih American football Hayden Fry: “In football, like in life, you must learn to play within the rules of the game”. Ya, sepakbola disamakan seperti kehidupan. “Football is like life - it requires perseverance, self-denial, hard work, sacrifice, dedication and respect for authority”, kata Vince Lombardi, pelatih American football.
Trik dan intrik bukan hanya sebatas sepakbola, namun juga ranah politik. Para elite politik pun dilenda demam sepakbola, terlepas dari motifnya: apakah memang gemar, atau sekedar numpang tenar saja. Saat ini mereka mungkin rajin menonton, siapa tahu diwawancara mengenai pemain atau negara favoritnya. Dunia politik pun bisa dianalogikan dengan sepakbola, seperti John F. Kennedy pernah berkata: “Politics is like football; if you see daylight, go through the hole”.
Bak permainan sepakbola, saling tebas dan berkelit, menyerang lawan dan serangan balik pun seolah tersaji di dunia politik. Utak-atik ala Tiki-Takanya Spanyol atau akrobatik jogo bonitonya Brazil seolah menemukan padanannya di dunia Politik. Pemimpin sekelas Kanselir Jerman Angela Merkel pun berujar tentang timnas dan dunia politik: “In the German football team players from different clubs need to get on with each other both on and off the pitch. In the grand coalition Christian Democrats and Social Democrats sit in the same boat and need to pull in the same direction.”
Jika sudah tak tahan dengan kekalahan di lapangan, pemimpin dan elit politik bisa menarik simpatik publik dengan ikut mengutak-atik tim sepakbola. Saat melawan negara lain pun, mereka mengobarkan semangat patriotik. Asal jangan jadi sampai gara-gara sepakbola merembet jadi perang beneran, seperti pernah terjadi di wilayah Amerika Tengah, yakni El Salvador dengan Honduras. Jangan pula berperang sesama saudara gara-gara fanatisme sempit yang mencederai spirit fair play.
Tahta, Harta, Wanita
“My private life is perfect. If your private life and your life outside football is good, then it is good on the field for you”, ujar David Beckham. Ah, semua orang sudha tahu kekayaan dan kehidupan glamor dari pemain yang merangkap pesohor itu. Apalagi si “gadis pedas” Victoria Beckham selalu mendampinginya, biarpun tidak banyak tahu tentang sepakbola. Istrinya hanya bisa berkata: “I don't know much about football. I know what a goal is, which is surely the main thing about football”.
Bisa jadi wanita histeris bukan karena permainan bola secara kolektif, namun terpana melihat fisik individual pemain. “Women will not talk about football unless one of them is in love with a football player, and then suddenly you discover that they know everything that is to be known about it”, kata Jeanne Moreau, yang diamini oleh sesame aktris lainnya, Julie Harris: “I don't know much about football but everyone seems to say that it is all about possession”.
Wanita pun bisa tersohor gara-gara menjadi WAGs (Women And Girlfriends) dari pesohor sepakbola. Bisa jadi para WAGs itu lebih terkenal dari pesepakbola wanita ternama. Pemain sepakbola wanita terbaik dunia Marta Vieira da Silva dari Brazil pun cuma bisa mengeluh: “But the reason that women's football is still unknown is because it's not on television and not widely publicised for a wide majority of the leagues in the world”. Pantas saja tidak ada istilah MABs (Man And Boyfriends), setidaknya tidak bergaung seperti para WAGs.
Atau, wanita memang tidak tertarik bermain sepakbola seperti perkataan Komedian Amerika Phyllis Diller: “The reason women don't play football is because 11 of them would never wear the same outfit in public”. Dan, kita mungkin cuma mesam-mesem atau mesum saja jika mendengar celoteh unik dari penyanyi nyentrik Bjork: “Football is a fertility festival. Eleven sperm trying to get into the egg. I feel sorry for the goalkeeper.”
Elegi, Terapi, Tragedi
Jose Mourinho – sang special one - pun berujar: “The negative side of football. The negative side of our society. People sometimes go to football and bring to it the negative aspects of our society.” William Shanky – mantan pelatih dan Manager Skotlandia – ikut nimbrung: “Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that”. Cerita sedih pun ikut tersaji di luar lapangan, bahkan kematian gara-gara sepakbola.
Mati dalam arti yang sesungguhnya terjadi saat pemain bermain di lapangan. Pemain Bolton Wanderers Fabrice Muamba masih tertolong setelah jatuh pingsan di lapangan. Namun, pemain timnas Kamerun Marc Vivien Foe pada tahun 2003 dan, tahun ini, pemain Livorno Piermario Morosini akhirnya meninggal. Penggemar sepakbola nasional mungkin masih ingat dengan pemain Persebaya Eri Irianto yang meninggal setelah bermain di Stadion Gelora 10 November Surabaya.
Jelas kematian tersebut membawa traumatic, bahkan itu tragedi. Sepakbola bukan hanya sebatas pelipur lara, seperti dikatakan seorang aktor Jon Hamm: “For a kid who's lost his mom and all the rage and grief that no one was able to talk out of me, football was a very therapeutic sport”. Bisa jadi, yang perlu terapi bukan hanya pemainnya saja, namun penonton, pengurus, atau mungkin masyarakatnya juga.
Kini, apakah gelora Piala Eropa bisa melupakan kematian supporter setelah menonton IPL dan ISL di Jakarta dan Surabaya?
---oo0oo---
Catatan:
Pernyataan atau perkataan para pesohor diambil dari sini dan sini. Entah benar atau tidak para pesohor itu berkata demikian. Kutipan-kutipan tersebut juga menyangkut American football yang katanya berbeda dengan sepakbola, namun semangat dan dramanya relatif mirip.
Btw, sebentar lagi partai antara Spanyol vs Italia. Akankah tuah sistem grendel catennacio berreinkarnasi di tim Azzuri untuk menangkal keindahan Tika-Taka? Jangan-jangan, Irlandia vs Kroasia yang dianggap kelas semenjana justru lebih menyajikan drama mempesona. Selamat menikmati (drama) sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H