Jika sudah tak tahan dengan kekalahan di lapangan, pemimpin dan elit politik bisa menarik simpatik publik dengan ikut mengutak-atik tim sepakbola. Saat melawan negara lain pun, mereka mengobarkan semangat patriotik. Asal jangan jadi sampai gara-gara sepakbola merembet jadi perang beneran, seperti pernah terjadi di wilayah Amerika Tengah, yakni El Salvador dengan Honduras. Jangan pula berperang sesama saudara gara-gara fanatisme sempit yang mencederai spirit fair play.
Tahta, Harta, Wanita
“My private life is perfect. If your private life and your life outside football is good, then it is good on the field for you”, ujar David Beckham. Ah, semua orang sudha tahu kekayaan dan kehidupan glamor dari pemain yang merangkap pesohor itu. Apalagi si “gadis pedas” Victoria Beckham selalu mendampinginya, biarpun tidak banyak tahu tentang sepakbola. Istrinya hanya bisa berkata: “I don't know much about football. I know what a goal is, which is surely the main thing about football”.
Bisa jadi wanita histeris bukan karena permainan bola secara kolektif, namun terpana melihat fisik individual pemain. “Women will not talk about football unless one of them is in love with a football player, and then suddenly you discover that they know everything that is to be known about it”, kata Jeanne Moreau, yang diamini oleh sesame aktris lainnya, Julie Harris: “I don't know much about football but everyone seems to say that it is all about possession”.
Wanita pun bisa tersohor gara-gara menjadi WAGs (Women And Girlfriends) dari pesohor sepakbola. Bisa jadi para WAGs itu lebih terkenal dari pesepakbola wanita ternama. Pemain sepakbola wanita terbaik dunia Marta Vieira da Silva dari Brazil pun cuma bisa mengeluh: “But the reason that women's football is still unknown is because it's not on television and not widely publicised for a wide majority of the leagues in the world”. Pantas saja tidak ada istilah MABs (Man And Boyfriends), setidaknya tidak bergaung seperti para WAGs.
Atau, wanita memang tidak tertarik bermain sepakbola seperti perkataan Komedian Amerika Phyllis Diller: “The reason women don't play football is because 11 of them would never wear the same outfit in public”. Dan, kita mungkin cuma mesam-mesem atau mesum saja jika mendengar celoteh unik dari penyanyi nyentrik Bjork: “Football is a fertility festival. Eleven sperm trying to get into the egg. I feel sorry for the goalkeeper.”
Elegi, Terapi, Tragedi
Jose Mourinho – sang special one - pun berujar: “The negative side of football. The negative side of our society. People sometimes go to football and bring to it the negative aspects of our society.” William Shanky – mantan pelatih dan Manager Skotlandia – ikut nimbrung: “Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that”. Cerita sedih pun ikut tersaji di luar lapangan, bahkan kematian gara-gara sepakbola.
Mati dalam arti yang sesungguhnya terjadi saat pemain bermain di lapangan. Pemain Bolton Wanderers Fabrice Muamba masih tertolong setelah jatuh pingsan di lapangan. Namun, pemain timnas Kamerun Marc Vivien Foe pada tahun 2003 dan, tahun ini, pemain Livorno Piermario Morosini akhirnya meninggal. Penggemar sepakbola nasional mungkin masih ingat dengan pemain Persebaya Eri Irianto yang meninggal setelah bermain di Stadion Gelora 10 November Surabaya.
Jelas kematian tersebut membawa traumatic, bahkan itu tragedi. Sepakbola bukan hanya sebatas pelipur lara, seperti dikatakan seorang aktor Jon Hamm: “For a kid who's lost his mom and all the rage and grief that no one was able to talk out of me, football was a very therapeutic sport”. Bisa jadi, yang perlu terapi bukan hanya pemainnya saja, namun penonton, pengurus, atau mungkin masyarakatnya juga.
Kini, apakah gelora Piala Eropa bisa melupakan kematian supporter setelah menonton IPL dan ISL di Jakarta dan Surabaya?