Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

RUU Dikti: Ada Apa dengan Dosen?

14 Februari 2012   23:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:38 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_171177" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ada dua isu panas yang menerpa dunia kampus akhir-akhir ini. Pertama, kewajiban publikasi artikel pada jurnal ilmiah sebagai syarat lulus dari perguruan tinggi, dan yang kedua, naskah RUU Pendidikan Tinggi (RUU DIKTI) yang siap memasuki uji publik pada tanggal 13 Februari 2012. Isu pertama masih menuai pro dan kontra sampai saat ini, sedangkan yang kedua relatif  luput dari perhatian publik. Aptisi (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) sudah menolak kedua isu tersebut, walau untuk yang kewajiban jurnal ilmiah hanya ngotot untuk program Sarjana saja, sedangkan kewajiban untuk lulusan Magister dan Doktor setuju-setuju saja.

Lalu, mengapa Aptisi masih menolak RUU Pendidikan Tinggi? Alasan yang mencuat di pemberitaan adalah tentang ketidakjelasan posisi PTS, termasuk– sebagai konsekuensi ketidakjelasan posisi tersebut -kekhawatirannya terhadap campur tangan pemerintah yang terlalu jauh terhadap PTS. Dugaan saya, pembahasan RUU PT ini akan alot dan mengundang perdebatan juga, khususnya soal kehadiran perguruan tinggi asing dan aspek pendanaan. Soal status PTS, pemerintah paling harus berhadapan head to head dengan Aptisi. Semoga perdebatan tersebut dilandasi semangat untuk memajukan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Sebelumnya, kita lihat dulu perbedaan naskah RUU versi 13 Februari 2012 dengan versi tanggal 27 September 2011. Versi untuk uji publik ini lebih gemuk jika dilihat dari jumlah pasalnya, yakni dari 99 pasal menjadi 119 pasal. Beberapa perubahan atau penghilangan substansi pun sudah dilakukan, misalnya perubahan asas pendidikan tinggi, termasuk pencatuman secara khusus kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan – yang tadinya masuk sebagai asas PT- menjadi bagian tersendiri yaitu pengembangan IPTEK.

Perubahaan lainnya, di antaranya adalah penjelasan tentang rumpun ilmu pengetahuan, pasal tentang dosen dan mahasiswa disatukan menjadi paragraf civitas akademika, penambahan penjelasan mekanisme pendirian kampus asing yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (patut ditunggu bagaimana teknisnya nanti), serta- ini yang patut diapresiasi:  “Pemerintah mengalokasikan dana penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2,5 % dari anggaran fungsi pendidikan dalam APBN”.

Namanya juga Undang-Undang – walau masih dalam bentuk RUU dan sudah mengalami revisi dibandingkan versi sebelumnya- pasti dilandasi idealisme dan harapan untuk mencapai kondisi yang lebih baik di masa datang. Tidak mengapa, asal tidak terjebak sebagai sebuah utopia yang hanya terlihat indah di awang-awang, walau realitas PT Indonesia yang masih penuh tanda tanya, ketidakpastian, dan kekisruhan. Siapa tahu RUU ini bisa mengurangi berbagai masalah dan kendala tersebut. Keberadaan UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen belum juga menghantarkan dunia pendidikan tinggi Indonesia seperti harapan masyarakat. Atau, jangan-jangan masalahnya bukan pada peraturan perundangan?

Saya tidak akan membahas tentang dasar, asas, fungsi, dan tujuan pendidikan tinggi.  Sudah pasti semuanya normatif dan baik-baik saja.  Lagian, ketercapaian atau pemenuhan dasar, asas, dll tersebut tergantung pada substansi dan pelaksanaan pada pasal-pasal dari RUU tersebut. Misalnya siapa yang akan mempersoalkan kembali tentang Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan dasar pendidikan tinggi. Atau, asas Pendidikan Tinggi, yaitu kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, dan tanggung jawab.

Saya menduga ada 5 isu menarik dari RUU DIKTI versi 13 Februari 2012. Isu tersebut berpotensi mendapat reaksi dari pengamat, praktisi pendidikan, serta adu kekuatan di gedung parlemen nanti antara pemerintah dan DPR, khususnya kampus asing dan aspek pendanaan. Dan itu sudah dimulai dengan penolakan dari Aptisi. Lima isu panas tersebut adalah (1) tugas dan kewajiban dosen, (2) masalah riset dan publikasi, (3) internasionalisasi  atau kehadiran PT Asing,  (4) tata kelola dan pengembangan PTN dan PTS, serta (5) aspek pendanaan.

Saya akan membahas isu pertama dulu, yakni peran dosen menjadi semakin penting, walau berat dan penuh tantangan. Ada nuansa memperkuat kewajiban dosen yang disertai penghargaan kepada yang mematuhi, serta hukuman untuk yang mengabaikannya. Namun, kewajiban tersebut bisa menjadi beban berat karena peran dosen memang sungguh penting  jika melihat Pasal 13:

  1. Dosen sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan yang dikuasainya dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya.
  2. Dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
  3. Dosen secara perorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, wajib diterbitkan oleh perguruan tinggi sebagai salah satu sumber belajar yang penting dalam pembelajaran dan untuk pengembangan budaya akademik dan budaya baca tulis bagi sivitas akademika.

Pelaksanaan tugas atau kewajiban dosen harus mencakup tiga tugas pokok atau tri dharma, ditambah tugas pembimbingan serta tugas administratiif. Saya kira ini bukan sesuatu yang baru, pastinya sudah dipahami oleh dosen. Beban sebesar 12-16 SKS tetap harus dijalankan dosen untuk memenuhi tugas-tugasnya tersebut. Tugas berat yang banyak diperdebatkan pada saat implementasi dan pelaporannya di lapangan. Khususnya mengenai kinerja riset beserta publikasinya yang masih dipertanyakan.

Menurut Pasal 85 ayat 5, pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh PTN atau penyelenggara PTS yang memiliki status otonom dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Status otonom merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik. Otonomi pengelolaan dalam bidang akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan dalam bidang tridarma.  Otonomi pengelolaan dalam bidang nonakademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan dalam bidang: organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, sumber belajar, dan sarana dan prasarana lainnya.

Jika berbicara perjanjian, pasti terkait dengan hak juga. Lalu apa hak dosennya? Berikut penjelasan Pasal 85 Ayat 5:“Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja memuat tentang gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji, penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta maslahat tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU mengenai Guru dan Dosen”. Intinya ada tunjangan sertifikasi, serta tunjangan profesi atau kehormatan kepada profesor yang mampu menulis buku dan karya ilmiah sampai usia 70 tahun. Pemberian anugerah pun disiapkan pemerintah bagi dosen yang berhasil melakukan publikasi ilmiah dari hasil riset atau kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

Aspek yang perlu diperhatikan adalah pengawasan terhadap proses sertifikasi dosen serta kinerja setelah memperoleh sertifikasi. Ada beberapa sinyalemen tentang ketidakpatutan dalam proses sertifikasi, misalnya kasus copy-paste deskripsi diri yang memang sudah menggunakan sistem berbasis elektronik dalam pengajuannya, atau indikasi profesor yang tidak bisa memenuhi tiga tugas wajibnya, yakni mengajar di program sarjana, membuat buku ber-ISBN, meneliti (termasuk membimbing mahasiswa pascasarjana), serta diseminasi ilmu pengetahuan, termasuk membuat artikel di jurnal internasional.

Harapan besar memang ada di pundak dosen untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia. Kinerja dan produktifitas pelaksanaan tri dharma menjadi ukurannya. Pemerintah sendiri sudah memberikan berbagai insentif diluar tunjangan sertifikasi dosen, walau distribusinya belum merata. Misalnya, pemberian insentif publikasi ilmiah dalam seminar di luar negeri atau dimuat di Jurnal International. Berbagai skim pendanaan untuk kegiatan riset pun semakin banyak, walau masih relatif kurang jika dibandingkan dengan jumlah dosen di Indonesia sebanyak 179865 orang dosen tetap dan 90614 orang dosen tidak tetap (sumber pangkalan data perguruan tinggi di sini). Insentif pengajuan paten dan insentif buku ajar pun selalu ditawarkan setiap tahun.

Dan, pada Pasal 54 Ayat 2 pun tertulis: “Hasil penelitian wajib diseminarkan, dipatenkan, dipublikasikan dan/atau disebarluaskan oleh perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kecuali penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau  membahayakan kepentingan umum“. Lalu dalam bagian penjelasannya disebutkan: “Dipublikasikan artinya bahwa hasil penelitian telah dimuat dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan ber- ISSN“. Dan ayat 4-nya berbunyi: "Hasil penelitian sivitas akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar, wajib diberikan anugerah yang bermakna oleh Pemerintah." Pada bagian penjelasan RUU disebutkan: "Yang dimasud “anugerah yang bermakna” antara lain insentif berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, wisata dalam dan luar negeri."

Akhirnya- terlepas dari 4 isu panas lainnya yang kayaknya akan mengundang polemik- kunci utama peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah terletak pada dosen, termasuk bagaimana membimbing mahasiswanya agar mampu membuat makalah yang layak dipublikasikan di jurnal ilmiah. Jika tidak, maka dosen pun punya andil  jika bimbingannya tidak lulus karena tidak bisa memenuhi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012, yang masih menuai pro dan kontra sampai hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun