Jika berbicara perjanjian, pasti terkait dengan hak juga. Lalu apa hak dosennya? Berikut penjelasan Pasal 85 Ayat 5:“Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja memuat tentang gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji, penghasilan lain dan jaminan kesejahteraan sosial serta maslahat tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU mengenai Guru dan Dosen”. Intinya ada tunjangan sertifikasi, serta tunjangan profesi atau kehormatan kepada profesor yang mampu menulis buku dan karya ilmiah sampai usia 70 tahun. Pemberian anugerah pun disiapkan pemerintah bagi dosen yang berhasil melakukan publikasi ilmiah dari hasil riset atau kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Aspek yang perlu diperhatikan adalah pengawasan terhadap proses sertifikasi dosen serta kinerja setelah memperoleh sertifikasi. Ada beberapa sinyalemen tentang ketidakpatutan dalam proses sertifikasi, misalnya kasus copy-paste deskripsi diri yang memang sudah menggunakan sistem berbasis elektronik dalam pengajuannya, atau indikasi profesor yang tidak bisa memenuhi tiga tugas wajibnya, yakni mengajar di program sarjana, membuat buku ber-ISBN, meneliti (termasuk membimbing mahasiswa pascasarjana), serta diseminasi ilmu pengetahuan, termasuk membuat artikel di jurnal internasional.
Harapan besar memang ada di pundak dosen untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia. Kinerja dan produktifitas pelaksanaan tri dharma menjadi ukurannya. Pemerintah sendiri sudah memberikan berbagai insentif diluar tunjangan sertifikasi dosen, walau distribusinya belum merata. Misalnya, pemberian insentif publikasi ilmiah dalam seminar di luar negeri atau dimuat di Jurnal International. Berbagai skim pendanaan untuk kegiatan riset pun semakin banyak, walau masih relatif kurang jika dibandingkan dengan jumlah dosen di Indonesia sebanyak 179865 orang dosen tetap dan 90614 orang dosen tidak tetap (sumber pangkalan data perguruan tinggi di sini). Insentif pengajuan paten dan insentif buku ajar pun selalu ditawarkan setiap tahun.
Dan, pada Pasal 54 Ayat 2 pun tertulis: “Hasil penelitian wajib diseminarkan, dipatenkan, dipublikasikan dan/atau disebarluaskan oleh perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kecuali penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum“. Lalu dalam bagian penjelasannya disebutkan: “Dipublikasikan artinya bahwa hasil penelitian telah dimuat dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku yang telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan ber- ISSN“. Dan ayat 4-nya berbunyi: "Hasil penelitian sivitas akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar, wajib diberikan anugerah yang bermakna oleh Pemerintah." Pada bagian penjelasan RUU disebutkan: "Yang dimasud “anugerah yang bermakna” antara lain insentif berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, wisata dalam dan luar negeri."
Akhirnya- terlepas dari 4 isu panas lainnya yang kayaknya akan mengundang polemik- kunci utama peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah terletak pada dosen, termasuk bagaimana membimbing mahasiswanya agar mampu membuat makalah yang layak dipublikasikan di jurnal ilmiah. Jika tidak, maka dosen pun punya andil jika bimbingannya tidak lulus karena tidak bisa memenuhi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012, yang masih menuai pro dan kontra sampai hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H