Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gudang Uang Tebar Jerat Utang

20 Januari 2012   16:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13270956801584641627

Suku bunga rata-rata per November 2012 adalah 2,26% untuk Giro, 6,57% Deposito 1 bulan, 7,14% Deposito 3 bulan, 7,18% Deposito 6 bulan, 6,94% Deposito 12 bulan, dan 2,32% untuk tabungan. Tingkat suku bunga tersebut adalah untuk DPK Rupiah. Fenomena bunga deposito yang tinggi pun malah dipertanyakan karena disinyalir hanya memburu deposan kaya yang mempunyai dana luar biasa. Bunga deposito tinggi ini - malah bunganya di atas tingkat bunga yang dijamin LPS -  bisa membuat biaya dana bank makin tinggi. Ujung-ujungnya bunga kredit pun tak turun-turun.

Keempat, Ketidakefisienan bank membuat biaya dana tinggi. Ketidakefisien bank bisa menyebabkan bunga kredit tinggi. Jadi bunga simpanan yang rendah ternyata tidak menjamin penurunan bunga kredit. Bank seolah menekan serendah-rendahnya harga beli dana dari maysrakat – yang menyimpan di bank- lalu memasang tarif tinggi pada kredit yang disalurkan ke masyarakat juga. Perbedaan harga beli dan harga jual tersebut sederhanya disebut dengan interest spread.

Interest spread yang lebar- bahkan tergolong tinggi di kawasan ASEAN- menunjukkan masih adanya biaya-biaya yang dibebankan ke debitur yang menanggung bunga kredit tinggi.  Istilahnya, bank menari di atas jeritan debitur. Bank pun mengeruk rente ekonomi dengan mengeksploitasi kemampuan membayar angsuran dari para debitur. Wajar jika BI menggunakan berbagai jurus, salah satu yang terbaru adalah "BI Akan Larang Bank Berikan Hadiah" (Kompas.com, 20/01/2012).

Memang dalam lima bulan terakhir bunga kredit cenderung turun untuk semua jenis kredit berdasarkan penggunaannya. Tingkat bunga rata-rata kredit di bank umum adalah 12% untuk kredit modal kerja, 11,59% untuk kredit investasi, dan 13,37% untuk kredit konsumsi. Bisa jadi, himbaun BI atau harapan pelaku di sektor riil sudah masuk ke telinga para bankir, walau penurunan bunga kreditnya belum signifikan. Berita Kompas,com (18/01/2012) bertajuk: "Perbankan Didesak Turunkan Bunga Kredit" menyebutkan para pengusaha sampai harus bertemu dengan Perbanas minta "dikasihani" agar bunga kredit segera turun.

Kelima, Bunga kredit BPR “gila-gilaan”. Bunga kredit yang disalurkan BPR tercatat sebasar 32,22% untuk kredit modal kerja, 28,19% untuk kredit investasi, dan 27,09% untuk kredit konsumsi. Bunga setinggi itu bisa menyulitkan para pengusaha yang bergerak di sektor riil. Jika usahanya dibiayai dari kredit BPR maka tingkat keuntungannya harus mencapai 40% agar masih bisa membayar bunga, itupun dengan margin keuntungan bersih yang relatif kecil. Dengan bunga kredit setinggi itu, potensi kredit macet di BPR pun relatif tinggi dibandingkan bank umum, yang dapat dilihat dari nilai Non Performing Loan (NPL).

Rata-rata NPL BPR pun lebih tinggi dibandingkan Bank Umum yaitu 5,91% berbanding 2,55% pada November 2011. Nilai NPL nya mencapai Rp 2,4 Triliun. Suku bunga kredit tinggi bisa disebabkan oleh suku bunga simpanan yang relatif tinggi yaitu  5,3% untuk tabungan dan 9,99% untuk deposito. Namun bunga kredit tinggi rasanya bukan karena bunga simpanan yang tinggi saja. Spread lebih dari 20% tersebut tergolong “gila-gilaan” yang bisa mencekik para debitur BPR.

Keenam, Jakarta masih jadi “gudang uang”. Total DPK sebesar Rp 2.644.742 Milyar yang terdiri dari Rp 2.259.450 Milyar DPK Rupiah dan Rp 385.292 Milyar DPK Valas. Komposisi DPK berdasarkan lokasi penghimpunan menempatkan Jakarta sebagai “gudang uang”. Berikut urutan lima besar nilai dan porsi DPK dilihat dari lokasi penghimpunannya: (1) Jakarta sebesar Rp 1.321 Triliun atau 49,95%; (2) Jawa Timur Rp 241.2 Triliun atau 9,12%; (3) Jawa Barat Rp 210.6 Triliun atau 7,97%; (4) Sumatera Utara Rp 124.3 Triliun atau 4,70% ; dan (5) Jawa Tengah Rp 122.1 Triliun atau 04,62%. Uang memang terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan "gudang uang"-nya ada di ibukota.

Semoga gudang uang itu tidak sekedar menebar jerat utang saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun