Pada akhir tahun 2014 yang lalu para analis dan investor memprediksi, pada tahun 2015 pasar obligasi pemerintah bakal semakin berdenyut. Saya sendiri pun sepakat dengan beberapa opini yang dilontarkan mengenai kondisi di pasar obligasi pemerintah. Kondisi ini disebabkan dengan banyaknya obligasi pemerintah yang jatuh tempo di tahun 2015.
[caption id="attachment_421068" align="aligncenter" width="566" caption="Profil Jatuh Tempo Utang Pemerintah 2015"][/caption]
Berdasarkan data dari Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, total utang yang jatuh tempo di sepanjang 2015 mencapai 173 triliyun (117 SBN + 56 Pinjaman), dari sini mayoritas obligasi akan jatuh tempo pada kuartal ke 2. Langkah yang sudah ditempuh pemerintah saat ini adalah dengan melakukan front loading atau memperbanyak penyerapan lelang surat utang negara (SUN) di awal tahun. Langkah ini tentunya dilakukan demi menutup utang jatuh tempo. Dengan membanjirnya suplai obligasi pemerintah di pasar, membuat pasar semakin tertekan. Banyaknya obligasi jatuh tempo di awal tahun ditambah langkah pemerintah untuk menutup defisit fiskal akan menekan pasar obligasi.
[caption id="attachment_421069" align="aligncenter" width="560" caption="Puncak Commodity Boom 2011 dan Nilai Tukar Rupiah"]
[caption id="attachment_421070" align="aligncenter" width="560" caption="Index Komoditas Semakin Turun dari Tahun ke Tahun"]
Meningkatnya inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan pertumbuhan ekonomi yg menurun turut memicu fluktuasi di pasar obligasi. Turunnya harga komoditas dunia yang selama ini menjadi andalan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang tidak kunjung membaik turut berkontribusi pada pelemahan nilai tukar rupiah. Jurus pemerintah dengan meningkatkan belanja pemerintah pusat di bidang infrastruktur untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi pun masih terkendala dengan rendahnya realisasi penyerapan anggaran yang hingga kini belum terasa dampaknya. Jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya, Bloomberg memberi ranking kepada Indonesia sebagai “the worst emerging-market performers”.
Selain dari sisi domestik, tekanan terhadap pasar obligasi juga dipicu meningkatnya risiko dari luar negeri. Dengan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS yang sudah dipastikan akan terealisasi tahun ini membawa dampak terhadap tekanan di pasar. Belum lagi ditambah dengan nasib utang Yunani yang ditentukan bulan Juni ini. Untuk soal Yunani ini memang masih muncul banyak spekulasi apakah Yunani tetap bertahan di Uni Eropa dan dampaknya terhadap kelangsungan Euro.
[caption id="attachment_421072" align="aligncenter" width="560" caption="Trend Nilai Tukar Rupiah"]
Melihat kebijakan Bank Indonesia dengan mempertahankan tingkat suku bunga di angka 7,5% sepertinya langkah ini dibuat untuk menjaga kepercayaan investor di pasar obligasi pemerintah. Ketika BI memotong tingkat suku bunga dari 7,75% menjadi 7,5% pada bulan Februari lalu, yang terjadi adalah capital outflow yang berdampak terhadap pelemahan rupiah hingga 3% dalam waktu singkat. Tantangan bagi investor asing adalah, bagaimana mereka dapat menjaga return positif di tengah trend pelemahan Rupiah.
[caption id="attachment_421824" align="aligncenter" width="560" caption="Perbandingan Obligasi Jatuh Tempo Pemerintah vs Swasta"]
[caption id="attachment_421071" align="aligncenter" width="560" caption="Proporsi Kepemilikan Obligasi Pemerintah"]
Tingginya proporsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah yang mencapai hampir 40% , membuat Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan tingkat suku bunga Bank Sentral Amerika. Sebagai perbandingan, kepemilikan asing di surat utang negara Malaysia sebesar 31%, sementara Thailand adalah 18%.
Dilema Indonesia
Namun tidak semuanya menganggap Indonesia tidak menarik bagi tujuan investasi, terutama di pasar obligasi pemerintah. Beberapa investor asing masih menganggap pasar obligasi di Indonesia masih menarik dengan tingginya imbal bagi hasil dibanding negara lain di Asia. Namun dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi, tingkat resiko turut naik yang tercermin dari naiknya biaya penjaminan surat utang atau credit default swap 5 year hingga saat ini meningkat ke level 168 (awal tahun 2015 masih berada di kisaran level 140). BI dan pemerintah memang tidak punya banyak pilihan saat ini. Fitch Rating sendiri memiliki penilaian yang mungkin agak sedikit mengecewakan bagi sektor riil, “Macroeconomic stability is more important than higher real GDP growth for maintaining Indonesia’s BBB-rating.” That’s Fitch’s lowest investment grade.
Melihat langkah BI yang positif bagi investor, S&P sendiri sudah meningkatkan ratingnya ke BB+. Kebijakan BI dan pemerintah saat ini demi mempertahankan credit rating dan stabilisasi rupiah “at any cost” bisa dikatakan berhasil meskipun sektor produktif harus dikorbankan dengan menghadapi tingginya suku bunga pinjaman bank. Kondisi inilah yang saya pikir BI tidak akan menurunkan tingkat suku bunganya dalam waktu dekat. Dalam hal ini saya kurang setuju, mengingat tingginya suku bunga pinjaman akan memukul sektor riil (produktif) belum rencana perluasan basis pajak yang terkesan tidak realistis.
Situasi di pasar memang tidak bisa dilhat secara sederhana, banyak faktor menyebabkan terjadinya capital outflow, terutama dari faktor eksternal diluar kendali BI dan pemerintah. Krisis utang Asia 97-98 dan Subprime Mortgage 08-09 membuktikan, capital outflow secara masif yang tidak diprediksi sebelumnya oleh pemerintah dan para ahli ekonomi pun bisa terjadi. Sebelum terjadi krisis Subprime Mortgage 08-09 di Amrik, The FED mulai menaikkan tingkat suku bunganya pada tahun 2004 secara bertahap.
[caption id="attachment_421825" align="aligncenter" width="560" caption="Grafik Historis Tingkat Suku Bunga The FED"]
[caption id="attachment_421823" align="aligncenter" width="560" caption="Capital Outflow Masif di Pasar Obligasi"]
Kebijakan Pelonggaran Kuantitatif (QE) Bank Sentral sejak tahun 2008, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah The FED, dimana tingkat suku bunga berada hampir ke 0% dalam waktu yang cukup lama. "We have not been in this territory before."
Tantangan terbesar adalah, bagaimana antisipasi terhadap normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral Amerika, apakah akan terjadi capital outflow secara masif di Asia terutama Indonesia? Seberapa kuat ekonomi Indonesia bisa menghadapi tekanan diluar kendali BI dan pemerintah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H