Mohon tunggu...
Budi Benedictus
Budi Benedictus Mohon Tunggu... -

National character cannot be built by law. It is the sum of the moral fiber of its individuals ~ Herbert Hoover

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagaimana Nasib Surat Utang Pemerintah?

29 Mei 2015   04:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tingginya proporsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah yang mencapai hampir 40% , membuat Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan tingkat suku bunga Bank Sentral Amerika. Sebagai perbandingan, kepemilikan asing di surat utang negara Malaysia sebesar 31%, sementara Thailand adalah 18%.

Dilema Indonesia


Namun tidak semuanya menganggap Indonesia tidak menarik bagi tujuan investasi, terutama di pasar obligasi pemerintah. Beberapa investor asing masih menganggap pasar obligasi di Indonesia masih menarik dengan tingginya imbal bagi hasil dibanding negara lain di Asia. Namun dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi, tingkat resiko turut naik yang tercermin dari naiknya biaya penjaminan surat utang atau credit default swap 5 year hingga saat ini meningkat ke level 168 (awal tahun 2015 masih berada di kisaran level 140). BI dan pemerintah memang tidak punya banyak pilihan saat ini. Fitch Rating sendiri memiliki penilaian yang mungkin agak sedikit mengecewakan bagi sektor riil, “Macroeconomic stability is more important than higher real GDP growth for maintaining Indonesia’s BBB-rating.” That’s Fitch’s lowest investment grade.

Melihat langkah BI yang positif bagi investor, S&P sendiri sudah meningkatkan ratingnya ke BB+. Kebijakan BI dan pemerintah saat ini demi mempertahankan credit rating dan stabilisasi rupiah “at any cost” bisa dikatakan berhasil meskipun sektor produktif harus dikorbankan dengan menghadapi tingginya suku bunga pinjaman bank. Kondisi inilah yang saya pikir BI tidak akan menurunkan tingkat suku bunganya dalam waktu dekat. Dalam hal ini saya kurang setuju, mengingat tingginya suku bunga pinjaman akan memukul sektor riil (produktif) belum rencana perluasan basis pajak yang terkesan tidak realistis.

Situasi di pasar memang tidak bisa dilhat secara sederhana, banyak faktor menyebabkan terjadinya capital outflow, terutama dari faktor eksternal diluar kendali BI dan pemerintah. Krisis utang Asia 97-98 dan Subprime Mortgage 08-09 membuktikan, capital outflow secara masif yang tidak diprediksi sebelumnya oleh pemerintah dan para ahli ekonomi pun bisa terjadi. Sebelum terjadi krisis Subprime Mortgage 08-09 di Amrik, The FED mulai menaikkan tingkat suku bunganya pada tahun 2004 secara bertahap.

[caption id="attachment_421825" align="aligncenter" width="560" caption="Grafik Historis Tingkat Suku Bunga The FED"]

14331825591617219503
14331825591617219503
[/caption]

[caption id="attachment_421823" align="aligncenter" width="560" caption="Capital Outflow Masif di Pasar Obligasi"]

1433181318557365680
1433181318557365680
[/caption]

Kebijakan Pelonggaran Kuantitatif (QE) Bank Sentral sejak tahun 2008, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah The FED, dimana tingkat suku bunga berada hampir ke 0% dalam waktu yang cukup lama. "We have not been in this territory before."

Tantangan terbesar adalah, bagaimana antisipasi terhadap normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral Amerika, apakah akan terjadi capital outflow secara masif di Asia terutama Indonesia? Seberapa kuat ekonomi Indonesia bisa menghadapi tekanan diluar kendali BI dan pemerintah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun