Mohon tunggu...
Budi Benedictus
Budi Benedictus Mohon Tunggu... -

National character cannot be built by law. It is the sum of the moral fiber of its individuals ~ Herbert Hoover

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Utang, Pajak dan Runtuhnya Sebuah Peradaban

1 April 2015   08:58 Diperbarui: 27 Agustus 2015   15:33 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah peradaban manusia (civilization) bangkit dan jatuh. Dalam artikel ini saya akan mencoba menggambarkan hal-hal yang menyebabkan sebuah peradaban maju sekalipun dapat hancur yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya pada saat itu. Overspending atau pembelanjaan yang tidak terukur dan cenderung boros telah menghancurkan beberapa peradaban, kerajaan, negara super power di masanya seperti Dinasti Han di Tiongkok, Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Perancis dan Uni Soviet.

 

 

Han adalah salah satu dinasti terbesar di Tiongkok. Dinasti ini memerintah selama kurang lebih empat abad dari 206 SM - 220 M. Inilah era golden-age nya Tiongkok yang pengaruhnya masih terasa hingga kini. Etnis mayoritas di Tiongkok saat ini banyak yang menganggap diri mereka sebagai orang-orang “Han”. Kekaisaran Han menikmati kemajuan ekonomi mereka hingga Roma dan India. Pemerintah pada saat itu banyak menghabiskan anggaran untuk perbaikan infrastruktur dan memberikan subsidi kepada orang yang kurang mampu. Seiring berjalannya waktu, pemerintah membutuhkan dana yang lebih besar untuk mewujudkan proyek-proyek mereka. Selain itu, pemerintah ingin menguasai dan mengontrol sebagian besar kepemilikan tanah di wilayah yang memiliki kekuasaan otonom. Dengan kebijakan ini pemerintah semakin sentralistik dan seluruh kebijakan diatur oleh pusat.

Untuk menutupi defisit anggaran dan mengatur masyarakat kelas atas (kaya), pemerintah mulai menambah dan memperketat aturan (over-regulated), menaikkan tarif pajak dan menambah belanja pemerintah. Kebijakan ini justru menghancurkan ekonomi mereka, aktivitas produksi berkurang karena terbebani pajak dan regulasi berlebihan. Anggaran pemerintah menuju defisit yang semakin dalam dan kondisi ekonomi jatuh. Utang pemerintah meningkat secara drastis, stabilitas keamanan kerajaan mulai tergoncang. Kesenjangan ekonomi mulai melebar, akhirnya pemerintah tidak dapat mengatasi kekacauan, baik dari internal maupun eksternal. Terjadi perpecahan di wilayah-wilayah terutama di perbatasan Rkarena ketidakmampuan pemerintah mengelola kebijakan fiskalnya (fiscal mismanagement).

Kejatuhan Kekaisaran Romawi tidak jauh berbeda dengan Dinasti Han di Tiongkok. Sejarah mencatat, bangsa Romawi telah membangun sebuah peradaban maju dengan berbagai peninggalannya yang masih dapat dilihat hingga kini. Romawi menikmati masa kemakmurannya pada saat pemerintah Republik Romawi, terutama setelah perang Punisia II (218 SM - 202 SM). Hal ini tidak terlepas berkat status bebas pajak (tax free status) yang membuat capital banyak berpindah ke Roma. Dalam waktu singkat Roma menikmati kemakmurannya berkat banyaknya capital yang masuk, kegiatan ekonomi yang produktif meningkat dan pajak tidak lagi diperlukan.

Seiring berjalannya waktu, kondisi politik Romawi mulai mengalami berbagai perubahan dari Republik menjadi Kekaisaran (Empire) termasuk kondisi ekonomi. Anggaran belanja mulai defisit berkat kebiasaan pemerintah mengimpor produk-produk mewah dari Tiongkok seperti sutera. Puncaknya, pada abad ke 3 sistem ekonomi dan politik Romawi yang sudah berjalan collapse. Deflasi masif, devaluasi mata uang dan overspending meruntuhkan kepercayaan terhadap pemerintah dan ekonomi. Kondisi ini mempengaruhi situasi politik yang mulai goyah dengan berbagai drama perebutan kekuasaan. Pada akhirnya stabilitas politik dapat mulai dikendalikan, namun kondisi ekonomi tidak pernah pulih.

Kaisar Diocletian mengakhiri kekacauan politik pada tahun 284 M dan mulai mencoba memulihkan kondisi perekonomian. Kebijakan politik yang diterapkan berjalan hingga tahun 312 M, namun reformasi di bidang ekonomi tidak pernah berhasil. Diocletian berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya sepanjang abad ke 4. Pemerintah saat itu menghabiskan dana yang luar biasa membiayai tentara untuk mempertahankan Kekaisaran dari ancaman bangsa barbarian. Pajak meningkat secara drastis, yang mengakibatkan orang-orang tidak mau bekerja dan mulai meninggalkan Roma. Pada akhirnya Kekaisaran tidak mampu mempertahankan kekuasaannya. Overspending akhirnya menghancurkan Kekaisaran Romawi tahun 476 M pada masa pemerintahan Kaisar Romulus Agustulus.

Kaisar Romawi memungut pajak secara agresif kepada rakyatnya dengan berbagai cara, demikian pula dengan raja-raja di Perancis. Berdalih membangun infrastruktur dan menumbuhkan iklim yang kondusif untuk pembangunan ekonomi, pemerintah justru membangun istana, membiayai perang melawan Inggris dan memaksa warganya untuk membayar pajak yang tinggi. Pemerintah pada saat itu bahkan memaksa warganya untuk melakukan pekerjaan kasar sebagai bentuk dari pengenaan pajak.

Rakyat menderita akibat beban pajak yang tinggi. Selain itu, rakyat mulai banyak yang kelaparan dan menderita gizi buruk karena musim dingin yang bekepanjangan. Hasilnya, rakyat mulai melawan kerajaan yang boros dan hidup dalam kemewahan. Ekonomi Perancis mulai runtuh ketika Raja Louis XVI setuju untuk membiayai perang sipil di Amerika dan Perancis akhirnya bangkrut. Utang pemerintah menjatuhkan ekonomi mereka. Kondisi inilah yang memicu Revolusi Perancis, menyebabkan pertumpahan darah selama 26 tahun dan membuat kondisi keamanan di Eropa tidak stabil.

Seperti Revolusi Perancis, Uni Soviet runtuh akibat beban utang yang terlalu besar. Selama masa perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam perlombaan senjata dan mengobarkan perang proksi (proxy war) di seluruh dunia. Pada akhir tahun tujuh puluh, Soviet mulai mencium kemenangan Perang Dingin. Namun, invasi Afghanistan dan menangnya Ronald Reagan mengubah peta politik dan memaksa Soviet meningkatkan anggaran belanja pemerintah ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Uni Soviet banyak menghabiskan uangnya di perang Afghanistan. Hal inilah yang menyebabkan kejatuhan ekonomi dan militer Soviet hingga memaksa menyerah di Afghanistan berkat ketidakmampuannya mengatasi pemberontak yang di dukung AS. Pada masa presiden Reagan, kondisi perekonomian AS semakin maju yang justru berbanding terbalik dengan Uni Soviet yang semakin tenggelam. Pada akhirnya tahun 1989 Uni Soviet tidak dapat mempertahankan pemerintahannya. Banyak negara-negara satelit Soviet yang mulai melepaskan diri. Pada tahun 1991 Uni Soviet runtuh akibat beban utang yang tinggi.

Peristiwa sejarah telah memberikan gambaran bahwa runtuhnya peradaban akibat beban utang yang terlalu tinggi, pajak yang semakin agresif dan pemerintah menjadi semakin otoriter. Sistem ekonomi yang dianut secara global saat ini mengijinkan pemerintah untuk berutang dengan dalih untuk menjaga dan mewujudkan kestabilan moneter serta mendukung kemajuan ekonomi. Namun jika pemerintah negara manapun di seluruh dunia ini tidak bijak, hal ini dapat membawa ke lubang kehancuran, mengingat jumlah utang seluruh pemerintah di seluruh dunia saat ini berada di level yang mengkhawatirkan. Apakah sejarah akan selalu terulang dan manusia selalu melakukan kesalahan yang sama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun